Paperback, 293 halaman
Penerbit: PT Gramedia
Pustaka Utama
Tahun terbit: 2012
Novel ini termasuk
salah satu dari nominasi sepuluh besar KLA (Khatulistiwa Literary Award) 2012.
Tentu saja ekspektasi saya sangat besar. Jadi saya membeli buku ini, berharap
kehausan saya akan karya anak bangsa yang bagus bisa terobati—jujur saja saya
jauh lebih sering membaca novel dengan genre fantasy, yang lebih mudah
didapatkan dari novel non-Indonesia.
Buku ini jelas sekali
berkisah tentang kehidupan si penulis sendiri, anak lelaki satu-satunya dari
lima bersaudara. Tokoh “Ibuk” dalam buku ini tak lain adalah si Ibu dari
penulis, bernama Tinah, yang menikah di usia belia dengan sopir angkot bernama
Hasyim yang sempat mendapat julukan playboy pasar. Settingnya sendiri di kota
Batu, Malang, dan dituturkan sejak kisah cinta Bapak-Ibuk terjalin hingga
meninggalnya sang Bapak di bulan Februari 2012.
Beberapa bab awal buku
ini berkisah tentang kisah cinta yang lugu dan manis antara seorang pemuda playboy
pasar dan gadis belia. Kisah tersebut berlanjut hingga pernikahan mereka, dan
kelahiran kelima anak mereka. Setelah itu kisah lebih terfokus pada si anak
lelaki dalam keluarga (Bayek), mulai dari kuliah, bekerja di Jakarta, hingga
lika-liku kehidupan dan kariernya di New York.
Ibuk dan Bapak
merupakan tokoh orangtua tangguh yang meskipun dalam kemiskinan dan kesulitan,
selalu berjuang untuk masa depan dan kebahagiaan kelima anaknya (Isa, Nani,
Bayek, Rini, Mira). Mereka bahkan harus berhutang hanya demi membeli sepatu
baru anaknya. Yang patut dikagumi adalah kesadaran kedua orangtua mereka
terhadap pentingnya pendidikan, dan inilah, yang menurut saya menjadi kunci
perubahan nasib dan kehidupan mereka sekeluarga di masa depan.
Jujur saja, buku ini
agak dibawah ekspektasi saya. Saya menikmati membaca beberapa bab awalnya
sebagai sebuah kisah yang manis, namun semakin ke belakang, banyak sekali
tulisan-tulisan yang menurut saya terus diulang-ulang oleh si penulis (meski
dengan kalimat yang agak berbeda, namun intinya sama); contohnya adalah ketika
si penulis menggambarkan karakter dan sifat si Ibuk atau si Bapak, dan ketika
si penulis berkali kali menceritakan hasrat hatinya sepanjang pertengahan
cerita hingga akhir (agak seperti curcol).
Saya tahu bahwa si penulis ingin memberi penekanan tertentu terhadap beberapa
bagian di buku ini, namun hal ini malah membuat saya agak jengah dengan membaca
hal yang sama diulang-ulang. Juga ketika dalam beberapa bab tertentu, tiba tiba
sudut pandang berubah dari orang ketiga menjadi orang pertama (biasanya hanya
dua sampai tiga halaman saja), lalu berubah lagi menjadi sudut pandang orang
ketiga. Bagian ini saya rasa agak tidak perlu, kecuali dari awal kisah memang
sudah direncanakan akan berganti-ganti sudut pandang.
Finally, meskipun
disana-sini masih banyak kekurangan, buku ini mampu menginspirasi pembaca untuk
selalu menggapai mimpi tanpa kenal lelah. Lumayan juga quote-quote yang bisa diambil, terutama dari dialog si tokoh Ibuk. Dan yang terpenting, siapapun kita bebas untuk bermimpi dan berusaha untuk meraihnya. Kalau mereka bisa, kenapa kita tidak?