Paperback, 916 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Eragon,
Penunggang naga pertama setelah Kejatuhan para Penunggang, dan naganya Saphira
harus bersiap-siap menghadapi pertempuran terakhir dengan kekaisaran menghadapi
raja Galbatorix yang kejam dan naga hitam raksasanya, Shru’ikan. Namun semua
itu tidaklah semulus yang dibayangkan.
Bagian
pertama buku keempat dan pamungkas seri Inheritance ini dibuka dengan bagian
prolog yang menceritakan rangkiman kisah dari tiga buku terdahulu, dimulai dari
penemuan batu biru oleh Eragon yang menetas menjadi naga Saphira,
petualangannya keluar dari Carvahall bersama Brom si pendongeng, pertemuan dan
persahabatannya bersama Murtagh dan Arya, bergabung dengan kaum Varden, hingga
beberapa pertarungan terakhir Eragon dengan Murtagh dan Thorn juga terbunuhnya
guru Eragon, Oromis dan Glaedr. Bagian prolog ini bahkan sangat detail, yang
sangat memudahkan bagi pembaca yang mengalami “amnesia” mengenai ketiga buku
sebelumnya untuk mengingat kembali dimana kisah di buku keempat ini akan
dimulai. Namun, bagi yang baru saja membaca buku sebelumnya, atau bagi yang
mengingat dengan sangat jelas jalan cerita dari buku-buku sebelumnya, membaca
bagian ini bisa menjadi sangaaaaaaatttt membosankan.
Eniwei,
Kaum Varden yang dipimpin oleh Nasuada, bersama para sekutu Varden yang lain
termasuk Eragon dan Saphira, Arya, Orik, raja Orrin, juga Roran dan seluruh
penduduk Carvahall, mulai mengadakan serangan ofensif terhadap Kekaisaran.
Mereka memulai dari merebut kota-kota yang ada di bawah pimpinan Galbatorix,
sepanjang Surda hingga ke Uru^baen. Walhasil, beberapa kota seperti Dras-Leona
dan Helgrind pun berhasil dikuasai. Namun mereka tidak sendiri. Kaum elf
dibawah pimpinan langsung ratu Islanzadi keluar dari kesunyian hutan Du
Weldenvarden untuk bertempur bersama Varden, dan bergabungnya ras Urgal dan ras
Werecat juga membuat perbedaan yang signifikan. Untuk pertama kalinya dalam
sejarah Alagaesia, seluruh ras (manusia, elf, naga, kurcaci, urgal dan werecat)
bertempur bersisian untuk menggulingkan Kekaisaran yang otoriter. Namun, tentu
saja, Galbatrix dan naganya telah memiliki waktu lebih dari seabad untuk
menimbun kekuatan, dan bahkan persatuan antar-ras pun dirasa belum cukup untuk
mengalahkan si raja gila itu. Maka dimulailah pencarian misterius Eragon dan
Saphira, yang dipandu oleh suara tanpa tubuh, ke pulau kediaman para Penunggang
sebelum Kejatuhan mereka, Vroengard, untuk menyelidiki keberadaan Ruang
Jiwa-Jiwa di Karang Kuthian. Pencarian ini membuat Eragon dan Saphira menemukan
nama sejati mereka, juga rahasia terpendam para penunggang untuk menyelamatkan
ras Naga. Singkat cerita, didorong oleh penemuan baru ini, kaum Varden (dibawah
pimpinan Eragon, yang menjabat sejak Nasuada diculik oleh Galbatorix) menyerbu
Uru^baen dan Galbatorix saat fajar.
Sebenarnya
saya tidak mau membocorkan akhir cerita ini, tapi bagi yang mengikuti
ceritanya, pasti sudah menebak akhir dari cerita ini dari “bocoran” Paolini di
buku pertama, dalam ramalan yang dituturkan oleh Angela pada Eragon. Kalau
tidak salah (agak lupa juga soalnya), ramalan itu tentang Eragon yang pada
akhirnya akan meninggalkan Alagaesia dan takkan pernah kembali, juga tentang
kisah cintanya yang tragis dengan seorang wanita yang “kuat, berkuasa dan
cantik tanpa tandingan”. Oke, bagian ini jelas banget menurut saya. Eragon yang
meninggalkan Alagaesia, sudah jelas kejadian itu adalah ‘setelah’ Eragon
berhasil mengalahkan Galbatorix—disini jelas sekali Paolini membocorkan bahwa
Eragon akan mampu mengalahkan Galbatorix pada akhirnya. Lalu mengenai bagian
kisah cinta itu, dari buku pertama pun sudah jelas bahwa si wanita dalam
ramalan adalah Arya. Okelah, kalau kisah cinta mereka tidak berakhir bahagia,
tapi bukan berarti bahwa tidak harus ada adegan romantis antara Eragon dan Arya
dong?! Bab-bab terakhir yang menceritakan “minggu terakhir kebersamaan sebelum
berpisah” itu, harusnya Eragon-Arya bisa mencontoh naga-naga mereka, Saphira
dan Firnen. Bukankah lebih baik memaksimalkan saja apa yang dimiliki pada
saat-saat terakhir?? Tapi tidak, aduuuh, saya sampai gregeten gemes sama mereka
berdua. Dan tahu nggak, hal paling intim yang mereka lakukan itu cuma saling
berbagi Nama Sejati dan saling membisikkan Nama Sejati masing-masing di
telinga. Owh My God! Grow up...! maaf, bukannya saya mengharapkan adegan
sevulgar Saphira dan Firnen, tapi apa salahnya sih menutup adegan perpisahan
mereka dengan let’s say...true love kiss? Mungkin bukan cuma saya lho yang
kecewa dengan bagian perpisahan Eragon-Arya,,heheee....
Finally,
buku ini adalah pamungkas yang menurut saya oke banget, meski dengan kekurangan
yang saya sebutkan diatas tadi dan tidak adanya duel hebat yang ditunggu-tunggu
(baca: Galbatorix vs Eragon.red), buku ini tetep worth it buat dibaca dan
dikoleksi. Juga bisa dijadiin bantal tidur saking tebalnya (percaya gak
percaya, ketebalan buku inilah yang membuat kecepatan baca saya jadi melambat
drastis, karena saking ‘berat’ nya, tangan saya suka pegal-pegal dan kram kalau
pegang buku ini kelamaan, hahahaaaaaa). Last but not least, enjoy reading guys!
^_^
Buku ini udah bercokol di lemari sejak tanggal perdana penerbitannya, tp, my bad, baru saya baca kurang lebih seperempatnya. Sedikit bosan dengan gaya naratif yang menurut saya terlalu panjang, apalagi pas masa perang-perang itu, mudah-mudahan bab kedepannya lebih menarik ya.
BalasHapusHahaaa....pengakuan nih, saya juga baca ini sempat mengalami proses stuck yang cukup lama sebelum akhirnya melanjutkan kembali ^_^
Hapusblh pnjm bkunya ga kak ???
BalasHapusblh pnjm bkunya ga kak ???
BalasHapus