Senin, 29 April 2013

Review: Victoria dan Sang Earl by Meg Cabot

Paperback, 248 halaman
Judul asli: Victoria and the Rogue
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno
Penerbit: Gramedia
Tahun terbit: 2010
ISBN: 978-979-22-6550-7

"Aku khawatir sekali aku tidak akan pernah menemukan cinta sejatiku. Seandainya aku tidak berjumpa dengannya, atau seandainya aku sudah berjumpa dengannya, dan membiarkannya pergi? Seandainya cinta sejatiku Robert Dunleavy? Minggu lalu aku bilang kepada Robert Dunleavy bahwa giginya mengingatkanku pada...pada kuburan!"-hal.136-

Kutipan di atas sukses membuat saya terpingkal-pingkal. Begitulah gaya tulisan tante Meg ini: ringan dan menghibur, namun seringkali membuat pembaca berpikir "iya juga yach?".

Buku ini merupakan kisah Historical Romance untuk remaja, jadi bisa dikatakan versi Teenlit-nya HisRom. Berkisah mengenai Lady Victoria Arbuthnot, seorang Lady muda berusia enam belas tahun yang mandiri, tegas, berani dan suka mengatur pada abad ke-18. Sepeninggal orangtuanya, yang tentu saja setelah itu Victoria lantas mewarisi gelar dan harta orangtuanya yang berlimpah, dia dibesarkan di India oleh tiga orang pamannya yang semuanya bujangan dan bergerak di bidang militer. Pada usianya yang keenam belas tahun, ketiga walinya memutuskan untuk memulangkannya ke London, Inggris untuk mencari calon suami. Yang mengejutkan, belum juga menginjakkan kaki di London, Victoria sudah bertunangan dengan Hugo Rothschild, Earl of Malfrey kesembilan yang sangat tampan dan memesona yang melamarnya di atas kapal Harmony dalam perjalanan dari India menuju Inggris. Mereka sebenarnya berniat merahasiakan pertunangan ini untuk sementara, namun siapa sangka, Kapten Jacob Carstairs yang tidak sengaja menyaksikan kejadian tersebut di kapal dengan sengaja keceplosan bicara di hadapan paman dan bibi Victoria, juga sepupu-sepupu Gardiner. Apalagi sepupu Rebecca Gardiner sangat tergila-gila pada sang Kapten.

Kejadian-kejadian lucu pun terjadi saat Victoria dan Kapten Jacob Carstairs tidak sengaja bertemu: mulai dari adegan turun tangga dari kapal Harmony yang dramatis sampai pencopet kecil yang menjambret tas Rebecca dan akhirnya dibekuk Victoria, yang sayangnya setelah dipikir-pikir menunjukkan bahwa Victoria bertingkah agak tidak seperti Lady kalangan atas di Inggris. Namun siapa peduli? Toh menurut Victoria, budaya Inggris agak kuno.

Masalah pun mulai muncul saat satu-persatu kedok Hugo Rothschild terbongkar, dan siapa lagi yang menguaknya selain Kapten Jacob Carstairs yang ujung-ujung kerahnya selalu lima senti lebih rendah daripada umumnya, dan membuat Victoria jengkel?

Seperti yang saya ungkapkan di atas, buku ini sangat ringan karena memang diperuntukkan untuk remaja, dan cukup menghibur soalnya hanya butuh satu hari bagi saya untuk menamatan buku tipis ini. Karakter utama wanita di buku ini sangat khas karakter tante Meg; seorang wanita yang berpendirian, tangguh, berani berbeda, berani berpendapat, dan berani mengejar impian...pokoknya heroine banget! Memang plot-nya sedikit klise, namun gurauan-gurauan yang ada cukuplah buat sedikit menutup kekurangan ini. Bagaimanapun saya selalu suka baca tulisan Tante Meg selama ini ^_^

PS. Post ini sebenarnya diikutsertakan dalam rangka "Posting Bareng BBI" dengan tema "Penulis Wanita", meski saya mem-posting ini sudah telat 13 jam. So sorry... ;p

Selasa, 23 April 2013

Review: Tuck Everlasting by Natalie Babbitt

Paperback, 172 halaman
Penerbit: Atria
Tahun terbit: 2010
Penerjemah: Mutia Dharma
Ilustrasi: Amalia Kurniasih
Desain sampul: Aniza Pujiati
ISBN: 978-979-024-458-0

"Kau tidak akan bisa hidup jika kau tidak bisa mati." 
(hal 90)

Kutipan di atas adalah salah satu dialog dari Angus Tuck, kepala keluarga Tuck, yang diberkahi atau dikutuk untuk hidup selamanya. Immortality merupakan hal yang sangat bisa diperdebatkan, dan Ms. Babbitt mengangkatnya melalui sebuah kisah mengenai sebuah keluarga yang bisa hidup selamanya.

Tuck dan Mae Tuck beserta kedua putra mereka Miles dan Jesse memiliki kehidupan abadi setelah minum dari sebuah mata air ajaib di tengah hutan. Hutan tersebut, yang dulunya masih hutan belantara merupakan properti milik keluarga Foster. Putri kecil keluarga Foster yang bernama Winnifred (Winnie) merupakan anak tunggal keluarga Foster, yang karena jengah memutuskan untuk kabur dari rumah ke arah hutan milik keluarganya. Tak disangka, di hutan tersebut dia bertemu dengan Jesse Tuck yang rupawan dan kakak laki-lakinya Miles, juga ibu mereka Mae. Winnie yang dilarang meminum mata air ajaib oleh Jesse akhirnya 'diculik' oleh keluarga Tuck untuk diberi penjelasan. Tak disangka, kasus penculikan ini berakhir pada persahabatan.

Masalah pun muncul ketika seorang pria asing mengikuti mereka dan mencuri dengar penjelasan mereka mengenai mata air keabadian milik keluarga Foster. Pria tersebut menjebak keluarga Tuck dengan menggiring seorang polisi dengan tuduhan penculikan terhadap putri keluarga Foster dan berusaha merebut hak milik hutan keluarga Foster beserta mata air keabadian yang ada di dalamnya.

Judul dari buku ini adalah Tuck Everlasting, yang jika hanya dari membaca judulnya saja, saya mengharapkan kisah keluarga Tuck bisa dibeberkan lebih detail terutama mengenai ke-"everlasting"-an mereka. Sayangnya saya harus menelan ludah kekecewaan. Kenapa? Karena masalah "keabadian" di sini terasa hanya sebagai bumbu penyedap saja dalam petualangan kecil Winnie. Sayang sekali. Padahal pasti akan sangat menarik mengetahui bagaimana keluarga Tuck selama ini melewatkan masa hidup mereka yang sangat amat panjang.

Karakter dalam kisah ini sudah cukup bulat, namun terasa seperti belum matang dan tidak dikembangkan. Rasanya saya seperti hanya bersalaman dengan para tokoh saja, hanya melihat bagian luarnya. Padahal jika mau, karakter Tuck yang menganggap imortalitas sebagai sebuah kutukan dan bagaimana dia menjalani hari-harinya,  karakter jesse yang periang dan sepertinya sangat bahagia dengan keadaannya, karakter Mae yang ramah dan "nrimo", juga Miles yang melankolis setelah berpisah dengan istri dan anak-anaknya bisa dikembangkan menjadi konflik rumit yang mengharukan meski ini merupakan buku anak-anak.

Satu pelajaran yang bisa dipetik adalah dari karakter Winnie. Dia adalah salah satu dari sangat sedikit orang yang diberi kesempatan untuk memilih: kehidupan manusia normal atau imortalitas. Dan apa yang dia pilih pada akhirnya? Apakah kehidupan selamanya bersama Jesse yang rupawan dan sangat disukainya adalah hal yang dipilihnya? Dan bagaimana dengan kalian semua, jika diberi kesempatan memilih seperti Winnie, akankah kalian memilih imortalitas???

Jumat, 12 April 2013

Review: City of Lost Souls (The Mortal Instruments #5) by Cassandra Clare

Paperback, 711 halaman
Penerbit: Ufuk Publishing House
Penerjemah: Melody Violine
Tahun terbit: 2012
ISBN: 978-602-18636-5-7

"Kau tidak bisa mencurangi kematian. Pada akhirnya, kematian akan menemukan jalannya sendiri."

Jace hilang...!!!!
Tentu saja Clary, Izzy, Alec, Simon dan seluruh penghuni institut panik. Apalagi sepertinya Sebastian ada di balik semua ini. Magnus sang warlock pun tidak bisa melacak keberadaan mereka, seakan-akan mereka menghilang dari muka bumi. Apakah mungkin? Alec yang mempunyai ikatan Parabatai dengan Jace pun merasakan suatu keanehan. Celakanya, Kunci malah menghentikan pencarian Jace. Clary dkk pun tidak bisa tinggal diam.

Clarissa Morgenstern, putri Valentine, akhirnya mencuri sepasang cincin peri dari institut sebagai alat komunikasi rahasia dengan sahabatnya Simon, sementara Clary menjalankan misi gila dengan menyusup ke sarang Sebastian untuk menyelamatkan Jace. Hal ini menjadi mudah karena Jace sendiri datang meminta Clary untuk bergabung bersama duo Jace-Sebastian. Semuanya menjadi membingungkan karena Jace terlihat senang hati membantu Sebastian. Ternyata sebuah ritual gelap telah menyatukan Jace dengan Sebastian: kau lukai yang satu, maka yang lain juga terluka, kau bunuh yag satu maka keduanya mati. Jace terperangkap, dan Clary harus menghadapi Jace yang bukan-Jace.

Simon, Izzy, Alec, dan Magnus mencari cara untuk memutus ikatan gelap Jace-Sebastian agar mereka bisa membunuh Sebastian tanpa melukai Jace. Merekapun mengambil cara yang hampir mustahil dengan memanggil malaikat Raziel, yang akhirnya memberi mereka pedang Glorious.

"Pedang ini mengandung kekuatan api Surga. Serang musuhmu dengan ini, maka ini akan membakar kejahatan darinya. Jika kejahatannya melebihi kebaikannya, lebih berat kepada Neraka daripada Surga, pedang ini juga akan membakar nyawa darinya." -hal 565.

Pertempuran besar pun terjadi karena Sebastian berniat menciptakan ras baru Pemburu Bayangan dengan darah Lilith sang Bunda Iblis. Di tengah pertempuran, Clary yang berniat membunuh Sebastian, dihadang oleh Jace yang masih terikat dengan Seastian. Clary yang teringat perkataan Jace yang asli pun menusukkan Glorious ke dada Jace.

Kisah dari seri The Mortal Instruments ini memang seru, namun menurut saya banyak juga bagian-bagian yang menurut saya kurang penting, namun tetap masuk dalam cerita dan membuat buku ini jadi super tebal, hehee... Bagian paling bagus memang mistery di akhir cerita, ketika Maryse Lightwood menemukan potongan sayap Malaikat di institut. Mbak Cassandra Clare ini memang seneng banget memunculkan misteri di halaman terakhir buku ini, yang menurut saya merupakan nilai plus, karena membuat pembaca jadi penasaran berat.

Kelebihan lain adalah para tokoh yang sering melontarkan joke ringan, yang kadang membuat saya senyum-senyum sendiri. Oh ya, tidak lupa, BIG applaus buat mbak Cassandra yang memasukkan unsur INDONESIA dalam novel ini. Magnus sang warlock ternyata lahir di Batavia, Indonesia dari wanita pribumi loooohhh....dan jangan lupa, ada tiga kata bahasa Indonesia yang diucapkan Magnus pada Alec dalam bahasa Indonesia: "Aku cinta kamu". Yeah, palng nggak sekarang semua orang yang baca novel ini bisa bilang I love you dalam bahasa Indonesia yach,,,,heheheee....

Senin, 08 April 2013

Hotter Potter April Meme: "Summer with Harry"

Jika kau bisa membawa pulang sebuah buku dari Flourish and Blotts, buku apakah yang akan kaubawa?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, silahkan simak kisah saya di bawah ini:

   Matahari bersinar cerah saat aku mengayuh sepedaku pagi itu. Rumah kotak-kotak yang menjadi ciri khas Surrey ada di kanan kiri jalan. Tak kubayangkan bahwa aku bisa mengunjungi anak dari sepupu suami tanteku yang sedang kuliah S2 di London. Dan ternyata si anak sepupu suami tanteku itu (karena susah ditulis, untuk selanjutya dia aku panggil "David") menyewa flat di Surrey! Surrey! Hey, tempat tinggalnya si Harry Potter itu. Maka di sinilah aku, dengan bersemangat bersepeda ke Privet Drive.
   Oke, oke, aku tahu kok bahwa Harry Potter itu cuma ada dalam kisah legendaris karya tante Jo, tapi boleh dong aku mampir ke tempat bersejarah yang jadi Setting cerita ini. Besok baru deh aku berencana pergi ke Baker Street.
   Aku berbelok tajam dari arah gang sempit yang menghubungkan Magnolia Crescent dan Privet Drive, dan terkesiap. Seorang cowok dengan tanpa dosa tiba-tiba muncul di hadapanku. Aku mengerem mendadak, dan well...kau tahu sendiri apa yang terjadi kalau ngebut di tikungan dan mengerem tiba-tiba: aku jatuh dengan sukses, dengan sepeda di atas tubuhku dan lutut dan siku yang perih tergores aspal. Dan yang menyebalkan, si cowok itu, meski terlihat sangat terkejut, tidak terluka sedikitpun.
   Cowok itu nyengir bersalah dan mengulurkan tangan ke arahku.
   "Are you okay?" Katanya.
  "Of course I'm not okay. I'm hurt all over!" namun tetap saja kusambut tangannya yang terulur untuk menarikku berdiri. Aku berusaha mengibaskan sisa sisa debu dari tubuhku sementara dia menarik sepedaku. Dia berdiri di hadapanku sambil memegang sepeda dan memandangku dengan serius.
   "I'm sorry. I didn't see you."
  Aku mendongak menatapnya, berniat untuk mengatakan "it's okay", namun kata-kata itu hilang di tenggorokanku sementara aku tercekat, bengong dan syok.
   "YOU're Harry Potter!" kataku kaget.

Oke, intinya, karena cerita di atas menurut saya agak kepanjangan dan bertele-tele (tsaaahhh), biar saya persingkat saja. Setelah pertemuan tak terduga itu, aku banyak menghabiskan musim panasku bersama Harry, dan tentu saja waktu akhirnya dia harus pergi ke Diagon Alley untuk membeli keperluan sekolahnya, aku memohon selama tiga hari untuk ikut, dan mengancam akan mogok makan jika tidak diajak ke Diagon Alley (maaf, Harry). Yah, apa mau dikata, Harry terpaksa mengajakku serta. 

Singkat cerita, we had a blast in Diagon Alley. Harry bahkan mengajakku berkeliling ke Eyelops, Peralatan Quidditch Berkualitas, dan Weasley Wizards Wheezes. Karena aku hampir tidak mau diajak pulang dari Diagon Alley, Harry harus "menyuapku" dengan sebuah "buku" sebelum dia bisa menarikku pulang ke dunia Muggle. Yupz, buku apapun yang aku mau dari the Flourish and Blotts. Dan inilah dia buku itu:
Kenapa aku memilih buku ini???
Gampang saja. Siapa sih yang nggak mau tahu kisah dibalik Kastil raksasa penuh nuansa sihir, heheee....ya ya, alasan yang tidak akademis, aku tahu. Alasan lain adalah buku ini adalah buku yang sering banget dijadikan referensi sama dibaca ulang oleh Hermione Granger! Tentu saja buku ini wajib dibawa pulang. Oh, hey, Harry bahkan tertawa waktu aku memilih buku ini dan berkata sambil geleng-geleng kepala "Great, I met another Hermione".

Oke sekian kisah saya dalam "Summer with Harry".
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...