Sabtu, 09 Mei 2015

Pure (Covenant Book 2) by Jennifer L. Armentrout [review]

Alexandria Andros bahkan belum selesai menjalani pelatihan khusus dari Aiden St. Delphi, seniornya dan juga seorang Sentinel handal, di North Carolina Covenant ketika dia harus melakukan sesuatu yang drastis pada salah satu orang yang paling dia sayangi dalam hidupnya (di akhir buku 1). Hal ini menyebabkan Alex merasa sedih, apalagi dengan banyaknya bekas gigitan daimon di lengan dan lehernya, sebuah pengingat akan peristiwa yang selamanya merupakan titik balik dalam hidupnya.

Alex yang telah mengetahui bahwa dirinya adalah calon Apollyon kedua, harus membagi waktunya berlatih di bawah bimbingan 2 orang pria; Aiden yang melatihnya hand to hand combat, serta Seth sang Apollyon pertama yang melatihnya bertarung menggunakan dan melawan keempat elemen, ditambah elemen kelima yang dahsyat dan mengerikan dan hanya bisa digunakan oleh para dewa dan Apollyon, Akasha.

Kedua Apollyon ditakdirkan bersama; terdiri atas satu jiwa yang berada di dalam 2 tubuh, tak heran jika Alex melewatkan sebagian besar waktunya bersama Seth. Apalagi Seth bisa membaca emosi Alex dengan mudah karena ikatan jiwa mereka. Namun Alex tetap tidak bisa mengingkari perasaannya pada Aiden meski Aiden adalah seorang Pure dan hubungan antara Half dan Pure adalah hubungan terlarang di kehidupan para Hematoi.

Sementara itu, seorang Half daimon berhasil menyusup di semua covenant, dan menghisap aether dari murid Pure. Ini menimbulkan kemarahan para dewa, dan memunculkan 3 patung furies di aula karena dianggap telah terjadi ancaman pada Pure. Para Half pun diperiksa secara menyeluruh, dan kecurigaan serta ketegangan  antara Pure dan Half semakin terasa. Puncaknya terjadi ketika salah satu murid Covenant di North Carolina meninggal akibat perbuatan Half daimon, dan Alex serta saingannya Lea ada di tempat kejadian.

Meninggalnya salah satu murid tersebut membuat Alex depresi berat, untunglah Seth yang sangat sweet selalu bersamanya. Namun Alex tidak bisa berlama2 dirundung kesedihan karena dia harus berangkat ke New York Covenant untuk dimintai kesaksian atas beberapa peristiwa yang menimpanya di hadapan seluruh anggota Council. Bukan hanya itu, berkali2 terjadi percobaan pembunuhan terhadap Alex di tempat ini, dan beberapa pejabat Council pun dicurigai.

Buku kedua ini semakin seru saja dech! Sejak peristiwa terbunuhnya si *sensor* sampai percobaan pembunuhan terhadap karakter utama, ditambah dua tokoh cowok yang sweet (Aiden di gentleman dan Seth si badboy), membuat roaller coaster buku ini semakin terasa. Tentu saja bagian akhirnya juga tidak disangka2 dan penuh dengan darah (eeewwww). Dan chapter tambahan dari sudut pandangnya Seth itu seperti eye-opener bagi pembaca tentang sosok Seth sang Appolyon yang misterius. Dan jujur ya, di buku ini saya sukaaaaaaaaaaaa banget sama sosok Seth (lagi2 deh saya suka sama tipe badboy, hahaaa). Anyway, sukses bagi mbak Jen karena buku keduanya lebih bagus dari buku pertama *wink*.

Selasa, 05 Mei 2015

Half-Blood (The Covenant Book 1) by Jennifer L. Armentrout [review]

"Okay. I'm ready to move onto something else, like practicing with knives or defense against the dark arts. Cool things."
"Did you just quote Harry Potter?"
-Alex and Aiden, Chapter 8, Half-Blood-

Buku apapun yang meng-quote Harry Potter pasti bagus! *plak* #ditendangpembaca
Iya iyaaaa...saya tahu saya bias, wkwkwk...
Okeh, langsung saja ke review.

Alexandria Andros, biasa dipanggil Alex, terkepung oleh para Daimon yang membunuh ibunya Rachelle. Alex sudah berhasil membunuh 2 daimon sebelumnya, namun keempat daimon yang tersisa menyudutkannya, hingga salah satunga berhasil menggigit lehernya dan menyedot aether Alex dari dalam tubuhnya. Di tengah rasa sakit yang luar biasa itulah, sekelompok sentinel datang menolongnya.

Kira2 begitulah isi bab 1 dari buku tersebut. The start was a BANG! Belum apa2 sudah langsung disuguhi adegan action yang dahsyat. Well, karena saya termasuk penggila action, dari adegan awalnya saja saya sudah langsung memutuskan akan meneruskan membaca buku ini. Dan benar lho, saya tidak kecewa.

Para sentinel membawa Alex kembali ke Covenant, dan pamannya, Marcus Andros, yang sekarang menjabat sebagai dekan Covenant langsung menginterogasinya perihal Rachelle yang bembawa Alex kabur dari Covenant ke dunia Mortal 3 tahun lalu. Kaburnya mereka yang berakhir dengan kematian Rachelle tentu membuat tanda tanya besar, apalagi sepertinya para daimon mengejar Alex dengan sangat gigih.
Atas dukungan Aiden St.Delphi, salah satu sentinel yang menolongnya, juga Laadan, Alex harus menjalani masa latihan intensif selama musim panas di bawah instruksi langsung dari Aiden, sebelum akhirnya bisa bergabung dengan para murid lainnya di tahun ajaran baru di musim semi.

Para dewa dan dewi Yunani dari dulu memang terkenal dalam "berhubungan" dengan para mortal. Keturunan mereka yang saling menikah satu sama lain, akan menghasilkan keturunan yang sama "murni"nya, memiliki keanggunan dan kecepatan fisik yang jauh diatas para mortal atau manusia biasa, dan memiliki kandungan aether murni dalam darah mereka juga bisa mengendalikan salah satu dari keempat elemen (ter-avatar-Aang heheheee). Mereka dinamakan "Pure Blood". Para Pure yang berhubungan dengan para mortal akan menghasilkan keturunan yang kekuatan fisiknya sama dengan Pure, namun tidak bisa mengendalikan elemen sama sekali. Mereka dinamakan "Half-Blood". Parahnya, sistem hierarki yang dimiliki Covenant dan Council sangat berat sebelah. Pure dianggap sebagai makhluk yang lebih berharga. Half hanya diijinkan menjadi sentinel atau pembasmi daimon, atau guard yang menjaga para Pure. Jika seorang Half melakukan kesalahan, hukumannya adalah pelayanan seumur hidup terhadap para master a.k.a. slavery atau perbudakan.

Alexandria yang merupakan seorang Half tidak punya pilihan lagi; dia harus berlatih untuk menjadi sentinel, atau dihukum sebagai budak. Celakanya Alex bukan gadis yang patuh aturan, berkali2 dia melanggar peraturan dan dianggap "tidak stabil" dan "tidak bertanggung jawab" oleh para instruktur Covenant. Aiden yang melatihnya selama musim panas merupakan satu dari sedikit Pure yang memilih menjadi sentinel. Gagah, ganteng, dan super baik, tidak seperti kebanyakan Pure; hubungan guru-murid Alex dan Aiden pun berkembang menjadi lebih dalam. Namun "Breed Order" melarang hubungan romantis Pure dan Half. Dan hukumannya? Perbudakan bagi si Half, dan kebebasan bagi Pure. Sangat tidak adil.

Di lain pihak, alasan kaburnya Rachelle 3 tahun lalu pun pelan2 terungkap. Rachelle kabur dari covenant untuk melindungi putrinya, yang ternyata bukan seorang Half-Blood biasa. Siapa sebenarnya Alex?
Dan ternyata, Rachelle sang ibu yang dikira sudah meninggal, ternyata belum benar2 mati tapi.............*sensor*

4 bintang deh buat buku ini, karena tokoh utamanya benar2 Heroine sejati. Banyak adegan pukul2an, tendang2an, dan bunuh2an, hahahaa.... ditambah lagi karakter Alex yang kocak namun tangguh, membuat buku ini makin asik dibaca. Oh iya, karakter Alex sedikit mengingatkan saya pada karakter Katniss Everdeen di saga Hunger Games sebenarnya; stubborn, susah diatur, kadang bertindak seenaknya sendiri dan tidak bertanggung jawab, namun benar2 kickass, tipe2 jagoan cewek sejati yang keren pokoknya, bukan tipe damsel in distress. Tapi bedanya, karakter Alex ini lebih easygoing dan kocak, lebih lovable dech pokoknya.

Oh ya, ada 1 tokoh lagi yang muncul belakangan, Seth sang Apollyon, baru muncul di tengah2 buku. Dia adalah seorang Half yang memiliki kemampuan mengendalikan 4 elemen sekaligus, ditambah elemen kelima, elemen para dewa. Kekuatannya melebihi Pure manapun meski dia seorang Half. Sang Apollyon yang hanya ada 1 tiap generasi, merupakan penyeimbang dunia.

Terus, apa hubungan kemunculan Seth dan Alex? Nah, ini juga akan terbongkar habis2an di buku, meski beberapa sudah agak bisa ditebak sejak awal, tp karakter Seth yang bener2 badboy itu bikin gemes, hahaa...

Sudah ah, mau baca buku selanjutnya nih...bye...

The One (Selection Book 3) by Kiera Cass [review]

"I'm going to love you more than any man has ever loved a woman, more than you ever dreamed you could be loved. I promise you that." -Prince Maxon, chapter 27, The One-

Thank God the third book is far better than the second!
Tinggal 4 gadis yang tersisa dari proses seleksi sebagai calon Puteri Illéa dan pendamping Pangeran Maxon yang tampan dan super sweet dan baik hati. Mereka adalah Elise yang perfeksionis yang masih memiliki hubungan keluarga dengan New Asia yang sedang berkonflik dengan Illéa; Celeste sang model dari kasta nomor 2 yang cantik dan tangguh; Kriss yang lemah lembut dan favorit masyarakat; dan tentu saja America Singer sang musisi miskin dari kasta nomor 5.

Raja Clarkson mengancam America untuk "tutup mulut" karena setiap tingkah lakunya dianggap membahayakan sistem Kerajaan Illéa. Namun Pangeran Maxon yang memihak America mencoba mencari cara agar America bisa menjadi favorit masyarakat, menaikkan pamornya sehingga Raja Clarkson mau tak mau harus menerimanya. Namun tentu saja, bukan America namanya kalau tidak membuat ulah, yang justru malah membuat karakternya bersinar di mata banyak orang, yang akhirnya menuntutnya untuk menjadi ratu. Tentu saja ini membuat Raja Clarkson makin geram.

Pergulatan batin Amerika yang membuat pembaca bosan di buku kedua akhirnya berakhir, syukurlah. America akhirnya menyadari dia mencintai Pangeran Maxon. Tetapi bagaimana dengan Aspen yang mengatakan bahwa dia akan menunggu America? Well, singkatnya hal ini selesai tuntas juga di akhir buku ini, yang, lagi2 karena takut spoiler tak akan saya beberkan.

Lumayan banyak juga kejadian2 lucu di buku ini, termasuk usaha aneh America saat merayu sang Pangeran, juga girls bonding time para 4 gadis Elite yang tersisa, yang akhirnya bersahabat satu sama lain meskipun mereka bersaing di ajang Seleksi.

Dari sisi politik, baik America dan Maxon pun melakukan langkah2 drastis dan meminta bantuan dari pihak Italia dengan bantuan Puteri Nicoletta dari Italy, juga bergabung dengan pihak pemberontak Utara untuk menumpas Pemberontak Selatan yang semakin garang. Berhasilkah mereka sebelum pihak Selatan menyerang? Apalagi dengan Pihak pemberontak Selatan yang membabi buta melakukan pembunuhan di kasta2 asal para gadis Elite, dan menyebarkan teror dimana-mana, termasuk di dalam tembok istana.

Buku terakhir ini menurut saya adalah yang paling bagus dari ketiga buku yang sudah ada, karena merupakan paket lengkap; romance, action, politic, angst, dan juga family dan friendship moment tertuang semua di sini. Pokoknya lengkap. Pace nya juga lebih cepat dari buku2 sebelumnya, dan isinya lebih padat.
Oh iya, jangan lupa membaca Epilognya juga yang super duper sweet.

Minggu, 03 Mei 2015

The Elite (Selection Book 2) by Kiera Cass [review]

"And maybe this is silly, but it's my country. I get that it's broken, but that doesn't mean these anarchists can just come and take it. It's still mine. Does that sound crazy?" -Aspen Leger, Chapter 22, the Elite-

Entah kenapa rasanya I can relate banget sama quotation di atas. Rasa kecewa yang amat besar pada negeri sendiri, pada sistem yang ada, pada hukum yang sering berpihak, pada pemimpin-pemimpin bangsa, pada birokrasi juga pada masyarakat luas yang begitu nyata dan tidak bisa disangkal. Kutipan di atas, juga diri saya pribadi, tahu dan yakin bahwa negeri saya tidaklah sempurna, bahkan jauh, jauuuuhhhh dari sempurna. Tapi toh rasa cinta yang saya rasakan untuk negeri ini sangatlah besar, dan saya akan membelanya sampai kapanpun. Rasanya seperti menyayangi keluarga dan saudara sendiri, yang meski kadang menyakiti kita, dan mereka jelas tidak sempurna, tapi rasa cinta yang kita rasakan pasti tidak akan pudar. Kecewa mungkin, benci...never!

Topik itulah yang diangkat di buku kedua ini. Para karakter utamanya, America Singer, Pangeran Maxon, dan juga Aspen Leger terlihat sangat berdedikasi bagi negeri mereka dalam cara mereka masing-masing.

Berkali-kali pemberontak dari utara dan selatan menyerbu istana. Anggota keluarga kerajaan, termasuk Pangeran Maxon dan keenam Elite (6 gadis dari jumah total 35 dari kerajaan Illéa yang lolos seleksi sebagai calon Puteri dan pendamping Pangeran) dipaksa berlarian menuju "safe place" yang ada jauh di dalam istana. "Safe places" ini ada yang khusus untuk royalty dan para elite, juga ada yang khusus diperuntukkan bagi pelayan2 istana dan para penjaga, dengan ukuran lebih mungil namun tersebar di seluruh penjuru istana. Singkat kata, banyak sekali adegan di buku kedua ini terjadi di ruangan2 tersebut, termasuk salah satu adegan "klimaks" di akhir cerita yang tidak akan saya beberkan di sini. Takut spoiler heheeee....

Marlee, salah satu sahabat America di antara para Elite, tertangkap basah melakukan sesuatu yang terlarang. Dia dihukum dan dikeluarkan dari proses "seleksi". America sangat marah pada Maxon karena menurutnya, Maxon tidak melakukan apa-apa untuk menolong sahabatnya. Maxon yang gundah akhirnya menemukan tempat dia bisa "terhibur" oleh Kriss, salah satu gadis Elite yang lemah lembut, sedangkan America yang masih emosi "menghibur diri" di pelukan Aspen. Inilah awal terbentuknya kisah cinta segi empat yang rumit dan menyebalkan di buku ini.

Ya, saya memang bilang MENYEBALKAN. Kenapa?
Jujur saja, saya memang bukan penggemar kisah cinta segitiga. Lha ini malah segi empat. Ewww....
Tambahan lagi, sikap Maxon dan America di buku ini benar2 kelewatan layaknya ABG galau yang sedang bereksperimen sama cinta monyet. Ditambah kegalauan America yang mendominasi hampir 90% isi buku, mengingatkan saya pada karakter Bella Swan di buku New Moon. Maksud saya, kebangetan banget deh kalau sampai tidak bisa menentukan saya ini sebenarnya suka sama si A atau si B. Mungkin memang beberapa orang mengalami hal ini, tapi kan nggak harus juga berhalaman-halaman jadi "aduh aku suka A, eh tapi kok kayaknya aku nggak suka A. Eh ternyata aku suka A, eh tapi kok si A begini ya...bagaimana kalau B? Yasudah, aku sama B saja. Eh bentar, si A lebih keren. Eh eh...tapi B..." and it will go on forever and ever and ever....

Bagi saya pribadi, membaca sebuah novel adalah belajar dari karakter yang menginspirasi. Contohnya, kita bisa belajar tentang keberanian dan persahabatan dari tokoh Harry Potter, lalu sikap "nrimo" atau bersyukur dari tokoh Auggie Pullman dari Wonder, dan juga kreativitas tanpa batas (meski rada2 psycho) dari tokoh Amy dari Gone Girl. Nah, kalau sepanjang buku dua tokoh utamanya hanya menghadirkan rasa galau, saya mau belajar apa? Maaf mbak Kiera Cass, tapi masa ABG saya sudah lewat.

Seperti yang saya singgung di review tentang buku sebelumnya, bahwa unsur politik pasti akan semakin kental. Itu benar terjadi. Ditemukannya buku harian milik George Illéa membuka mata America dan Maxon bahwa negeri mereka memang membutuhkan sebuah "perubahan". Sayangnya konflik polotik ini tenggelam oleh konflik batin America yang mendominasi isi buku, padahal seharusnya bisa lebih dieksplor.

Jujur saja saya kecewa sekali dengan buku kedua ini. Setelah buku pertama yang sangat oke, buku kedua ini hancur berantakan. Namun jika memang penasaran sama keseluruhan isi cerita, ya harus dibaca sih hehe... paling nggak buku ketiganya bagus! Jadi rasa sakit hati saya sedikit terobati. Eh, itu harusnya saya tulis di review selanjutnya ya, hahaaaaa....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...