Jumat, 29 April 2016

The Hundred Dresses by Eleanor Estes [review]

Title: The Hundred Dresses
Author: Eleanor Estes
Illustrated by: Louis Slobodkin
Language: English, 80 pages
First published: 1944
Genre: Classic, Children Literature
Awards: Newbery Honor 1945
My rating 4/5

Wanda Petronski adalah gadis kecil dari Polandia yang bersekolah di Connecticut, Amerika. Dia selalu memakai pakaian yang sama setiap kali pergi ke sekolah; gaun warna biru yang warnanya sudah pudar, selalu bersih, namun tidak disetrika dengan rapi. Wanda yang dianggap "berbeda" karena memiliki nama yang keluarga yang tidak lazim, selalu menyendiri, dan memakai pakaian yang sama, akhirnya sering "digoda" oleh teman-temannya. Setiap hari, yang terjadi selalu sama. Peggy, teman sekelas Wanda akan bertanya "Berapa pakaian yang kau punya di rumah?" dan setiap kali Wanda akan menjawab dengan kalimat yang sama "One hundred dresses. All lined up in the closet".

Uniknya, buku ini diceritakan dari sudut pandang sahabat Peggy yang bernama Maddie. Setiap kali Peggy "menggoda" Wanda dengan bertanya jumlah bajunya, Maddie selalu ada di sana, tidak ikut "menggoda" Wanda, namun tidak juga membela Wanda meski Maddie merasa apa yang dilakukan salah. Dan tentu semua orang, termasuk Maddie dan Peggy, jadi bertanya-taya apa yang terjadi pada Wanda ketika tiba-tiba gadis kecil itu tidak muncul di sekolah. Apalagi setelah Wanda memenangkan kontes menggambar!

Novel ini sangat sederhana, namun menurut saya sangat indah dan sarat makna, cocok sekali untuk bacaan anak-anak mengenai arti persahabatan, dan saling memaafkan. Karena ditulis dari sudut pandang Maddie si gadis kecil, bahasanya juga sederhana dan tidak terkesan menggurui, lugu namun jujur. Yang unik, novel ini adalah novel klasik yang menceritakan tentang "bullying" ketika bahkan istilah "bullying" itu sendiri mungkin belum ditemukan atau belum populer. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata "tease", "ridicule" atau "game" yang dipakai untuk menggambarkan kegiatan "bullying" di sini, namun tak sekalipun istilah itu disebutkan. Ya iyalahhh.... terbit pertama kali sebelum Indonesia merdeka gitu loh...heheheee...

Review ini ditulis sebagai bagian dari Posting Bareng BBI bulan April 2016 dengan tema #BBIChildrenBooks

Enjoy!
See you in the next post ^_^

Sabtu, 23 April 2016

Spell Bound by Rachel Hawkins [review]

Title: Spell Bound (Hec Hall #3)
Author: Rachel Hawkins
327 pages (read in e-book version)
First published: 2012
Genre: Fantasy
My rating: 4/5

Warning: Jika belum membaca buku pertamanya (Hex Hall) dan keduanya (Demonglass), mohon jangan membaca review saya ini, karena mungkin mengandung spoiler. Saya tidak bertanggung jawab jika anda keracunan spoiler.

Setelah anggota Council menyegel kekuatan sihir Sophie, gadis yang sekarang hanya manusia biasa itu menuruti nasihat Cal dan mencari ibunya di keluarga Brannicks (keluarga wanita petarung dari Irlandia yang memburu Prodigium). Terdampar di rerumputan di tepi hutan, Sophie berhadapan dengan gadis kecil berambut merah, dan setelah melalui adegan kesurupan hantunya Elodie serta dipukul sampai pingsan oleh gadis berambut merah yang lain, Sophie akhirnya bertemu dengan ibunya, Grace. Namun ternyata kejutannya tidak sampai di situ saja, karena ternyata Grace mengungkapkan rahasia yang lumayan menggegerkan, dan merupakan awal mula semua masalah ini.

Sophie berada dalam kegalauan maksimal karena dia sama sekali tidak tahu keberadaan semua orang yang disayanginya, Cal yang masuk ke Thorne Abbey yang terbakar api untuk menolong James Atherton yang dipaksa melalui proses Removal sera Archer Cross di dalam sel. Juga sahabatnya Jenna yang entah di mana. Namun Torin, penyihir pria abad ke 16 yang terjebak di dalam cermin dan sekarang tergantung di Ruang Perang keluarga Brannicks, mengatakan bahwa Sophie akan menjadi seseorang yang mengalahkan kakak-beradik Casnoff dan menyelamatkan mereka semua... atau... dia akan bangkit menjadi pemimpin pasukan demon yang dibangkitkan oleh kakak-beradik Casnoff.

Jika kemarin saya mengatakan bahwa buku kedua lebih "emosional" dari buku pertama, nah... buku ini penuuuhhh dengan "drama", "teenage angst" dan "kegalauan tahap overload". Memang si bagian rahasia keluarga Brannicks yang terungkap itu twist yang sangat keren di awal buku, bahkan sempat bikin wow, meski tidak terlalu mengagetkan, namun cukup wow. Namun setelah itu kesannya pace-nya sangat lambat dengan bertubi-tubi percobaan pencarian grimoire dan mengambalikan kekuatan Sophie, plus, cinta segitiga yang sangat nggak banget antara, yag, bisa ditebak sendiri lah, Cal-Sophie-Daniel. And who the heck is Daniel? Ngahahahahaaaaa you know when you read it.

Memang sih, di buku ini karakter Archer Cross sepertinya memakan usaha double maksimal dari penulis untuk menjadi tokoh yang layak disukai, dan berusaha keluar dari "your typical hot guy in high school". Dan cukup berhasil kok, karena karakter Archer semakin kuat, tapi teteeep, cinta segitiganya ituu....nggak banget aduuuhh.... This is New Moon all over again, Nooooooo....!!!!!! And look what have you done to my sweet Callahan, Ms, Hawkins?! Aaaaaaargh...!!!
*Ika out*

See you in the next post!

Minggu, 17 April 2016

Belanja Buku di Festival Buku Murah Semarang 2016 [LPM]

Helloooo.... dari Semarang buat semua teman-teman. Kali ini saya mau setor LPM (Laporan Pandangan Mata) tentang kegiatan kalap bersama kopdar para anggota Goodreads Indonesia (GRI) Wilayah Semarang.

Sebelumnya, sedikit cerita mengenai Semarang Book Fair, ini adalah semacam wadah bagi pembaca dan kolektor buku untuk memperoleh buku-buku dari berbagai macam penerbit dengan beragam diskon lhooo.... Jika beruntung kita bahkan bisa mendapatkan sebuah buku bagus dengan hanya merogoh kocek sebesar Rp.10.000 saja. Asyik bukan? Lebih Asyik lagi, Semarang Book Fair ini diadakan di Semarang (biasanya berlokasi di Gedung Wanita) setiap dua tahun sekali, pada bulan April dan Oktober, selama seminggu penuh setiap kalinya.

Kali ini Semarang Book Fair diadakan mulai tanggal 6-12 April 2016 dengan mengusung tagline Orang Hebat Gemar Membaca, yang dipajang besar-besar di halaman gedung, tentu saya menyempatkan diri berfoto melampiaskan hasrat narsis dahulu. Saya berkunjung ke sini hanya dua kali (tidak seperti Mas Pra yang ke sini setiap hari, eh, ups... #kabur), pada hari pembukaan, yaitu hari Rabu tanggal 6 April dan berhasil membuat saya kalap belanja beberapa buku, beberapa diantaranya adalah Seri Infernal Devices nya Cassandra Clare, lengkap 3 buku (Clockwork Angel, Clockwork Prince dan Clockwork Princess) dengan hanya Rp.20.000 saja per buku. Menurut saya ini sudah oke banget mengingat Seri ini tebalnya minta ampun dan harga aslinya bikin mata melotot dan dompet kering, heheheee... Oh iya, maskot Semarang Book Fair kali ini adalah Raden Gatotkaca, tokoh wayang sakti yang sering dideskripsikan sebagai otot kawat balung wesi yang fotonya dipajang di poster besar di atas pintu masuk. Tidak kalah heboh, seorang pria berkostum Gatotkaca pun masuk ke dalam gedung, dengan mengenakan sepatu egrang yang membuat si Gatotkaca tampak tinggi menjulang sampai tiga meter, dan berfoto-foto dengan para pengunjung di berbagai stand sambil membawa tulisan "Sejuta Buku Untuk Indonesia".
Gatotkaca sedang berpose
Nah, pada tanggal 10 April 2016, bertepatan dengan hari Minggu, teman-teman dari GRI Semarang mengadakan Kopi Darat (Kopdar) pada pukul 10.00. Mas Pra si Pak Ketu, seperti biasa menjadi yang datang paling pagi. Pada saat saya sampai di parkiran gedung pada pukul 9.30 pagi, saya lihat Mas Pra justru keluar dari parkiran, katanya sih mau balik dulu sebentar untuk menaruh buku-buku hasil bookswap biar tidak berat. Jadi saya masuk saja langsung ke dalam gedung seorang diri. Di situ saya langsung menuju "Yusuf Agency", stand favorit saya di situ karena buku-bukunya murah dan banyak, meski saking banyaknya, kita harus teliti mencari buku-buku yang kita inginkan karena rasanya bagai mencari jarum di tumpukan jerami, heheheee.... Saya makin girang karena ternyata koleksi yang dipajang lebih banyak dan lebih beragam daripada hari Rabu lalu! Mulai asyiklah saya memilih-milih, terutama saya memborong novel Agatha Christie yang sedang didiskon dengan harga Rp.15.000 per bukunya. Saat itulah Mas Pra tiba-tiba muncul kembali dan mencuri foto saya yang sedang berjongkok sambil memeluk setumpuk buku...yang, tentu saja fotonya tidak akan saya pamerkan di sini, heheheee. Beberapa saat kemudian barulah Mas Tezar dan Mbak Cindy muncul.
Dari kiri ke kanan: Mbak Cindy, saya dan Mas Tezar. Fotografer: Mas Pra
Sempat agak lama kami berisik tertawa-tawa berdiskusi di situ, sambil sesekali memberi komentar pada buku ini dan itu, dan saling menjerumuskan mengingatkan satu sama lain untuk menambah belanjaan lagi dengan alibi "beli saja, mumpung nemu lhooo...mumpung murah lhooo...". Setelah itu muncullah Kak Vinta, dengan santainya melihat-lihat berbagai macam buku yang ditawarkan. Namun karena Saya, Mbak Cindy, Mas Tezar, dan Mas Pra sudah dari tadi dan agak lama di situ, dan sudah mulai kepanasan karena semakin ramai, kami berempat memutuskan untuk keluar gedung, mencari tempat untuk duduk dan mengobrol santai sambil minum es teh. Dan benarlah, setelah haha-hihi beberapa lama di situ, anggota lain mulai berdatangan termasuk Mbak Lila, Mbak Deli, Sierra, dan Mbak Isna yang datang dengan membawa undangan nikahnya (Selamat ya buat Mbak Isnaaaa #hugs), yang karena sedang kepanasan, justru kita pakai sebagai kipas darurat #ups. Saat sudah berkumpul seperti itu, tentu saja terjadi berbagai macam transaksi, mulai dari pinjam-meminjam buku, sampai bayar utang dan juga bagi-bagi buku gratis, heheheee.... Saya mendapatkan hadiah 6 buku Agatha Christie dari Mas Pra dan 2 buku Variety Art Works dari Mbak Cindy. Duh, senangnyaaaaa..... Terima kasih banyak Mas Pra dan Mbak Cindy, ailapyuuuuuuuuu, heheheee...
Pemberian dari Mas Pra dan Mbak Cindy :)
Karena pemberitahuan mengenai kopdar juga sudah diumumkan di media sosial, Mas Pra bilang akan ada anggota baru yang akan datang bergabung. Dan benar saja, tak lama kemudian, muncullah gadis manis berjilbab yang bernama Cahya, seorang mahasiswa jurusan Tata Kota dari UNDIP yang sangat suka membaca buku-buku sastra.

Setelah puas ngobrol sambil menonton orang-orang berlalu-lalang, tentu kami memutuskan untuk berfoto bersama di depan tulisan tagline, dan di depan poster Gatotkaca di atas pintu masuk.
Dari kiri ke kanan: Cahya, Mbak Lila, Mbak Deli, saya, Sierra, Mbak Vinta, Mbak Cindy, Mbak Isna dengan Mas Tezar di depan sendiri sedang jongkok. Fotografer: Mas Pra
Setelah puas berfoto, beberapa teman memutuskan untuk pulang sementara saya, Mbak Cindy, Mas Tezar, Mbak Deli dan Mbak Isna memutuskan untuk makan siang dahulu karena perut sudah meminta untuk diisi.
Makan siang di Warung Steak and Shake di Jl. Singosari, Semarang. Fotografer: Mas Tezar
Berikut ini ada beberapa foto yang saya ambil dari grup WA:
Kata Mas Pra foto yang bagian bawah itu adalah foto buku-buku yang belum sempat dipajang di Yusuf Agency di hari terakhir pameran. Wah, sayang sekali ya.....

Sekian update LPM dari saya, semoga berkenan :)

See you in the next post ^_^

Sabtu, 16 April 2016

Demonglass by Rachel Hawkins [review]

Title: Demonglass (Hex Hall #2)
Author: Rachel Hawkins
359 pages (read in e-book version)
First published: 2011
Genre: Fantasy
My rating 4/5

Warning: Jika belum membaca buku pertamanya (Hex Hall), mohon jangan membaca review saya ini, karena mungkin mengandung spoiler. Saya tidak bertanggung jawab jika anda keracunan spoiler.

Sophie Mercer , yang di akhir buku pertama menemukan fakta bahwa dia terlahir sebagai demon generasi keempat, memutuskan untuk melakukan Removal (ritual penghapusan kekuatan sihir yang sangat berbahaya dan mungkin bisa berakibat fatal). Keputusannya ini tentu saja ditentang oleh semua orang, termasuk ibu dan ayahnya, juga tunangannya Cal. Namun ayah Sohie, James Atherton sang Kepala Council, berhasil membujuk Sophie untuk melewatkan musim panas di London, Inggris untuk mempelajari lebih lanjut hal-hal mengenai 'demonisasi'nya sebelum dia memutuskan untuk melakukan Removal. Tentu sahabatnya Jenna si vampir dan Callahan atau Cal tunangannya harus ikut serta.

Bukannya melewatkan musim panas di rumah sang ayah, James Atherton justru membawanya ke markas besar Council yang ternyata merupakan rumah keluarga Thorne, tempat awal mula Alice (nenek buyut Sophie) dirubah menjadi demon melalui sebuah ritual oleh Virgiia Thorne di masa lalu. Pelan-pelan, sejarah keluarga Sophie terungkap di sini. Meskipun begitu, Sophie tetap saja bisa melakukan banyak kegiatan yang menyenangkan di banguanan ala kastil itu, mulai dari father-daughter-bonding time bersama sang ayah, clubbing bersama Nick dan Daisy yang juga sesama demon, hingga pertemuan rahasia dengan Archer Cross yang ditaksirnya.

Buku kedua seri ini terasa lebih "berat" dan lebih "emosional" dari buku pertamanya, meski harus diakui, sarkasme yang lebih banyak bertaburan di buku ini memang membuat suasana membaca jadi segar menyenangkan. Bagian separo awal buku ini rasanya penuh dengan informasi-informasi yang, meskipun tidak bikin terbengong kaget, namun berhasil membuat pertanyaan yang banyak muncul setelah membaca buku pertamanya terjawab dengan masuk akal. Bagi saya, yang memang suka sekali adegan action, bagian separo awal ini agak lambat, namun informatif. Nah, memasuki bagian separo akhir barulah ketegangan memuncak total. Bagian akhir ini pace dan ketegangannya sangat memuaskan, sampai membuat saya berpikir mungkin si penulis sengaja seperti ingin membuat 'bom' maksimal sebagai gong nya, apalagi dengan akhir yang sangaaaaaaattttt menggantung.

Terus terang saya puas maksimal membaca buku kedua ini karena, selain karakter-karakternya yang sepertinya sudah berkembang lebih baik dari buku pertama, ceritanya juga bisa lepas dari bayang-bayang "sekolah sihir Hogwarts". Soalnya memang, jika menengok kembali buku pertama itu, karena settingnya sangat "sekolah sihir", mau tidak mau saya jadi sedikit menganggapnya sebagai fanfiction Harry Potter ala Alternate Universe, hahahaaaa.... Tapi hebatnya, buku ini bisa merubah arah alur cerita agar tidak "Hogwartsy" banget, dan bahkan menyentuh ranah per-politikan dengan lebih menghadirkan peran kelompok-kelompok besar yang berperang di bdang sihir.

Oh iyaaaa, jujur saja, saya di buku ini jatuh cinta sama karakter Alexander Callahan (Cal) yang pendiam, namun hot dan sihir penyembuhannya keren banget.... Dan, jujur saja ya, si Archer Cross, love-interest-nya Sophie itu, saya bahkan nggak tau dia bagusnya apa selain digambarkan sebagai "typical hot guy at school that every girl loves", eurghhh....cetek.

Sekian dulu cuap-cuap saya tentang buku ini, enjoy! See you in the next post ^_^

Selasa, 12 April 2016

A Letter To J.K. Rowling

HAPPY BIRTHDAY, BBI....!!!!!

Tomorrow, April 13th, is BBI (Book Blogger Indonesia)'s 5th anniversary. As a way to celebrate our beloved community;s birthday, we (the book bloggers) are encouraged to write a letter to our favorite author. So I decided to write one to J.K. Rowling.



Dear Ms. Rowling,

I know this letter is kind of 'mandatory' as a way to celebrate my blogger-community's birthday, but when I decided to write this, I actually wanted to write this because I've been meaning to say something to you since I was eleven years old: thank you.

Thank you for writing the most magical story I've ever read in my life :)

Let me tell you a story of how I met Harry Potter and fell in love with the series.

My name is Kartika, which is a Javanese word means 'star', but everybody calls me Ika. I came from a small town named Purwokerto, in the south part of Java Island, Indonesia. I was eleven years old (almost twelve) at the time, and one of my childhood friends lent me a book called "Harry Potter and the Sorcerer's Stone" (the Indonesian language translation one). I was a bit skeptical about it, but my friend persuaded me and said that 'the book is about wizards but it is unlike any other wizard-books I've read'. So I brought the book home, and read it, and soon found that I could not stop until I finished it. When I reached the last page of the book, I knew I was in love.

Soon after that, I got my hands on the second and the third book which were already translated and published at the time, still borrowing from my friend. When it was time to return the books to her, I knew I was doomed: I could not stop rereading them. I did not want to return them. I wanted to have them all for myself.

Several months after returning the books, I went to a bookstore alone on a sunday afternoon, bringing a bunch of my pocket money I'd been saving for months, and bought all three Harry Potter books that have been published. I was twelve. And those three books were the first three novels I collected (now I collect a lot of novels).

I had to wait for almost two years to get the fourth book, waiting for it to be translated and all. And by the time I read the fourth book, I was already fourteen years old and was having an important test at junior high school. Because of the test, my parents didn't allow me to read it until after the test. So I stayed up at midnight, pretending to be asleep, but actually, I was reading the book with a flashlight under the blanket. And then, the fifth book came when I was in senior highschool. I was fifteen years old when I read that one. Maybe it was because of the same age as Harry throughout the series, but for me, I find it was very easy to fall in love with Harry Potter.

Up until the fifth book, I always read those in Indonesian language, the translated editions. But since the series were a big hit, local bookstores started to sell the English editions after that, which is very unusual, actually, but it made me scream in happiness inside. Let me tell you that in my town, it is very very verrryyyy hard to find imported books or books written in English. Even if there are, the cost is highly expensive. So, unless you live in Jakarta, it is very hard to acquire imported books.

Anyway, I stumbled into the sixth book when I was preparing to go to university, already seventeen years old. It was in English, not the translated one. I was amazed. It was my first English book I've ever had. And I read it because I coudn't bear to wait a whole year for the translated version to be published. It was the first novel in English that I read from the beginning until the end...and it was not an easy task to do since it is not in my mother tongue. Actually, I admit, I consulted a dictionary many many times when I was reading it.

By the time the last book published, I could read the whole book in English with no major problems, and I enjoyed it immensely. Of course, I was already in university when I read the finale.

I literary grew up with Harry. Harry Potter books were always there thoughout my childhood. They are a huge part of my childhood, a magical part. Without Harry Potter, I would never know the joy of collecting novels (now I also collect Harry Potter books both in Indonesian language and in English, but sadly, I still don't have the fourth book in English. Like I said, it is still very hard to find imported books here *cry*). Without Hary Potter, I would not be encouraged to improve my English. So, once again, thank you, for bringing the whole magical world into my life. 

Thank you for my magical childhood.

I loved the series then, and I love them still.

I sincerely wish you a very happy and magical life.


Love from your biggest fan,
-Ika-

PS. I'm reading your other books now, and I'm halfway through The Cuckoo's Calling.

Sabtu, 09 April 2016

Hex Hall by Rachel Hawkins [review]

Title: Hex Hall (Hex Hall #1)
Author: Rachel Hawkins
323 pages
First published: 2010
Genre: Fantasy
(read in e-book version, English language)
My rating: 4/5

"So if you can heal with your touch, why are you working here as like, Hagrid, or whatever?" -- Sophie Mercer
Sophie Mercher selama ini dibesarkan oleh ibunya yang manusia biasa, berpindah-pindah tempat tinggal selama 16 tahun hidupnya. Ketika sebuah 'mantra cinta' yang gagal dan memporak-porandakan pesta prom di sekolahnya yang lama, Sophie mendapati ayahnya mengirimnya ke sekolah asrama terpencil bernama Hecate Hall. Di Hecate Hall, Sophie mendapati dirinya seasrama dengan berbagai macam Prodigium; mulai dari witch dan warlock, faery, shapeshifter, sampai vampir.

Kehidupan barunya di Hecate Hall membuka matanya atas beberapa hal yang selama ini tidak diketahuinya; seperti asal mula para makhluk sihir, dan latar belakang keluarganya, dan jati diri ayahnya yang sebenarnya. Celakanya, hal ini justru membuatnya terlibat banyak masalah. Tiga penyihir cantik berusaha merekrutnya masuk coven untuk alasan yang mencurigakan, dan para guru sepertinya membencinya. Belum lagi sepertinya sahabatnya dituduh membunuh teman seasramanya, dan Sophie sepertinya naksir seorang warlock paling ganteng di sekolah yang, ups, sudah punya pacar.

Dari ringkasan cerita di atas, memang sepertinya ini buku fantasy standar yang biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Saya juga tidak mengharap bakal suka sama buku ini, lho.... Tapi tentu saja, ternyata buku ini, diluar dugaan saya, berhasil membuat saya tidak bisa berhenti membacanya sampai selesai, hehehee.... Padahal niatnya cuma iseng baca buku ini sebelum tidur, weleh, kebablasen sampai habis ;p

Jadi, apakah plot buku ini klise? Saya jawab ya! Klise dan tidak original. Maksud saya, let's face it, Hogwarts rings a bell? Nah, dengan ide tentang "sekolah sihir", mau tidak mau, kita akan selalu membandingkannya dengan Harry Potter. Tapi saya salut karena penulis sepertinya tidak terjebak di 'lingkaran klise' itu. Tante Hawkins berhasil meramu kisah yang tidak original menjadi unik dan menemukan orisinalitasnya sendiri secara pelan-pelan. Twist di sana sini, dan suspense yang diletakkan dengan strategis sepanjang isi buku berhasil memukau saya hingga halaman terakhir. Bahasa yang digunakan juga enak dan mengalir lancar, lugas dan tidak berbelit-belit, membuat pace-nya tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Passs banget lah pokoknya.

Oh iyaaa, satu lagi, bagian gong-nya...endingnya bagusss. Saya nggak akan cerita karena takut spoiler, intinya endingnya bikin saya nggak sabar pengen buka buku sequelnya, heheheee... Pokoknya buku ini cocok banget buat penggemar low-fantasy seperti saya.

Oh iya, saya baca versi bahasa Inggrisnya. Sebenarnya saya sempat mengelus-elus buku ini di toko buku waktu keluar terjemahan cetak ulangnya, tapi membayangkan kalau beli 3 buku biar serinya lengkap...aduhmak, dompet lagi kosong, heheheee, jadi baca ebook dech biar ngirit ;p Jadi saya tidak tahu apakah terjemahannya sebagus aslinya atau tidak, soalnya sepanjang yang saya baca, banyak jokes-jokes dan sarkasme yang terlalu cultural sih...dan tahu sendiri kadang yang seperti ini terasa lucu di bahasa aslinya, dan jadi tidak lucu lagi saat diterjemahkan. Eniwei, I love this book a lot.

See you in the next post ^_^

Sabtu, 02 April 2016

P.S. I Still Love You by Jenny Han [review]

Title: P.S. I Still Love You (To All The Boys I've Loved Before #2)
Author: Jenny Han
First published: 2015
337 pages (audiobook version)
Language: English
Genre: Young Adult, Contemporary, Romance
My rating: 2/5

Masih ingat cerita di buku pertama? Tidak? Oke, saya pancing sedikit ya....buku pertama berakhir sangat mengambang dengan hanya berbunyi "Dear Peter,". Jujur saja, itu akhir sebuah novel paling jenius yang pernah saya baca, beneran sukses membuat saya setengah menjerit dan hampir membanting hape.

Sequel ini berawal dari... apa lagi kalau bukan lanjutan tulisan "Dear Peter," tadi. Lara Jean, yang tidak menyangka bahwa dirinya benar-benar jatuh cinta pada Peter, akhirnya menulis surat yang ditujukan untuk pacarnya itu. Namun tentu saja, ada satu masalah yang bikin galau Lara Jean: bagaimana cara menyampaikannya ke Peter? Haruskah dikirim lewat pos, atau ditaruh di kotak suratnya, atau....diserahkan secara langsung? Untunglah Kitty, adiknya yang lugu dan ceplas-ceplos membujuknya untuk bertemu langsung dengan Peter dan menyerahkan langsung suratnya. Alhasil, pada tahun baru yang dingin, dengan masih mengenakan hanbok, pakaian tradisional Korea, Lara Jean berkunjung ke rumah Peter.

Perjalanan cinta yang easy going antara Lara Jean dan Peter ternyata tidak selalu 'easy'. Ada yang menyebar gossip miring tentang mereka melalui instagram. Sekarang semua orang, dari teman sekolahnya sampai semua gurunya menjadi saksi satu momen paling intim dalam hidup Lara Jean. Lara Jean yakin sekali bahwa Genevive, mantan pacar Peter, berada di balik layar. Belum lagi kemunculan kembali seorang cowok yang dulu sempat menghilang dari kehidupan Lara Jean, salah satu cowok yang mendapatkan 'surat cinta' dari Lara Jean.

Setelah buku pertama yang menurut saya sangat bombastis dengan plotnya yang unik, buku kedua ini terasa 'sangat hambar' dan 'sangat kosong' dan 'sangat memaksa'. Rasanya saya susah berkomentar karena rasanya kecewa luar biasa. Saya cuma memberi 2 bintang saja. Kenapa? Yuk, kita coba analisis...

Pertama, plotnya, aduhmak alamak ini plot di buku kedua ini kenapa bisa klise sekali? Super duper klise, sampai bikin saya sakit hati. Mungkin jika ini novel stand alone, atau novel pertama, saya nggak akan menharapkan banyak ya... Tapi masalahnya ini sequel woy! Sequel dari buku pembuka yang bombastis! Cuma sekelas teri begini...meh...MEH! Cewek biasa yang pacaran sama cowok populer lalu dibully semua orang gara-gara gossip miring yang disebar oleh cewek bitchy yang cemburu? Hellooooo....nggak bisa ya lebih klise lagi?

Kedua, Suspensenya tidak seseru di buku pertama. Buku pertama menghadirkan hal-hal yang, sekali lagi, karena tidak klise, pembaca tidak bisa mengharapkan sesuatu yang spesifik terjadi. Namun di sini...karena dari awal plot yang disajikan adalah sesuatu yang BIASA, suspensnya juga jadi tidak terlalu greget karena unsur surprisenya sangat sangat kurang.

Ketiga, underdeveloped karakter dapat ditemui di dua tokoh penting yang baru muncul pentingnya di buku ini: Genevive dan John Ambrose. Genevive di buku pertama, meski kemunculannya sedikit, justru sangat well-developed. Tapi entah kenapa di sini berkembang menjadi TYPICAL BITCHY GIRL. Terus si John Ambrose ini, muncul sebagai sosok COWOK SUPER SEMPURNA dan TYPICAL SILENT WARRIOR. Oh, God.... cliche much? Sepertinya kok jika mau membuat cerita novel dengan tema cinta segi empat, kau cukup menambahkan karakter typical bitchy pretty girl dan typical perfect pretty boy untuk melengkapi dua karakter utama, dan BOOM, jadi dech. Oh, please.... pembaca juga butuh variasi kan?

Keempat, hubungan kekeluargaan di keluarga Covey, terutama si kakak-beradik Song-Girls yang di buku satu sangat saya kagumi karena selain sangat realistis, tidak lebay, dan banyak memendam pesan moral, justru agak terabaikan di buku kedua ini dengan absennya karakter Margo hampir sepanjang buku. Sangat disayangkan.

Kelima, novel pertama yang berhasil membuat saya GIGGLING di sana-sini, terasa sangat LEMPENG di sequelnya. Tidak ada lagi adegan lucu namun cute, yang bisa membuat saya tertawa di sana-sini. Yang ada justru adegan yang "sok romance" dengan menghadirkan banyak sekali sentuhan klise mulai dari valentine, main bola salju, sampai adegan mergokin si pacar pelukan sama oknum lain yang akhirnya bikin bertengkar parah...eurgh....*tabur-tabur klise*

Eniwei, seperti yang sering saya bilang, tidak ada sesuatu di dunia ini yang benar-benar hitam dan putih...er, kecuali cat tembok hitam dan cat tembok putih... ehem, fokus. Oke, maksud saya, separah-parahnya suatu buku, pasti ada kelebihannya juga kan? Nah, buku ini juga memiliki kelebihan lho....er, meski cuma satu, yaitu: KITTY COVEY. Yups, karakter si adik tokoh utama yang berusia sembilan tahun ini di buku pertama mendapat jatah sedikit dan terkesan cuma numpang lewat. Namun si penulis berhasil menyulapnya menjadi karakter yang perannya cukup signifikan dan cukup well-developed di buku kedua ini.

enjoy! See you in the next post ^_^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...