Senin, 22 Februari 2016

Anna and the French Kiss by Stephanie Perkins [review]

Title: Anna and the French Kiss (#1)
Author: Stephanie Perkins
372 pages
Published: 2010
Genre: Romance, Contemporary
Language: English
My rating: 2/5

Anna dari Atlanta, Amerika, harus merelakan tahun terakhirnya di SMA jauh dari rumahnya, meninggalkan ibunya, adiknya, sahabatnya Bridget, dan cowok-yang-hampir-menjadi-pacarnya Toph. Ayahnya yang merupakan penulis novel yang sedang naik daun, mengirimnya ke School of America in Paris (SOAP), padahal Anna sama sekali tidak bisa bahasa Perancis!

Tentu saja malam pertama Anna di Paris dihabiskan di kamar asramanya sambil menangis, hingga seorang gadis bernama Meredith dari kamar sebelah (yang mendengar tangisannya) berbaik hati menghiburnya dan mengajaknya berteman, bahkan mengundangnya makan bersama di cafetaria keesokan harinya, yang membuatnya berteman dengan geng Meredith yang lain: Josh, adik angkatan yang artistik dan pacarnya Rashmi, juga Etienne St. Clair yang luar biasa tampan.

Bagi Anna, Etienne St. Clair adalah sebuah enigma: dia memiliki mata coklat yang lebar, rambut coklat yang indah, tangan seorang pria dewasa, nama Perancis yang eksotis, Aksen British yang sexy, dan kewarganegaraan Amerika. Dia juga baik hati, lucu, pintar dan percaya diri meski postur tubuhnya tidak terlalu tinggi. Dan dia juga....sudah punya pacar.

Saya mendengarkan versi audiobook buku ini, yang jujur saja bagian British Accent untuk suaranya si Etienne sama sekali tidak mirip British Accent, masih terasa banget Amerika-nya. Tapi untuk narasi lain dan dialog tokoh lainnya cukup okelaahhh....

Saya sebenarnya bukan penikmat kisah romance, jadi mungkin pendapat saya agak bias dan banyak yang tidak setuju saya hanya memberi rating 2 bintang, but don't hate me, ok. Tapi mari kita tengok satu-persatu alasan kenapa saya hanya memberi dua bintang.

Plot nya yang klise menyajikan kisah standar tentang anak SMA yang dipaksa pindah sekolah, lalu bertemu sahabat-sahabat baru dan juga love-interest baru sementara dia juga bingung karena memiliki sahabat dan love-interest di sekolah lamanya. Yah, okelah, saya memang mengerti bahwa tidak ada kisah yang original di dunia ini, dan banyak sekali novel dengan plot yang memiliki garis besar yang sama. Namun setidaknya kan hal itu bisa diakali dengan sedikit twist di sana-sini, dan kejutan tak terduga di sana-sini. Namun nyatanya novel ini memiliki jalan cerita yang lempeng...konfliknya pun lempeng dan standar dan tidak bikin kaget, tidak menyajikan sesuatu yang baru. Jadi jangan salahkan saya kalau saya 3X ketiduran saat mendengarkan novel ini (iya, saya sengaja menghitung, wkwkwk).

Karakter-karakter dalam novel ini juga sangat klise. 

Ada beberapa tipe karakter/penokohan yang sangat sering kau temui ketika kau membaca novel-novel YA romance, diantaranya: 
  1. karakter cewek yang cantik atau menarik namun tidak menyadari bahwa dia cantik plus tidak terlalu percaya diri (kadang berlaku juga untuk karakter cowok, tapi memang lebih sering dijumpai pada karakter cewek)
  2. Karakter love-interest yang hampir sempurna (biasanya digambarkan sebagai luar biasa tampan/cantik, pintar, lucu, baik hati)
  3. Karakter sahabat yang geek
  4. karakter sahabat yang 'weird' namun sebenarnya baik hati
  5. Karakter sahabat yang sebenarnya saingannya si karakter utama (entah dalam cinta atau penampilan atau skill)
  6. Karakter cewek 'bitchy' yang cantik
  7. Karakter cowok yang 'playboy' (biasanya pada awal cerita terkesan baik hati, pada akhir cerita ketahuan bahwa dia 'prat')
  8. Karakter orangtua cool
  9. Karakter orangtua yang 'not-so-cool'
Dan...coba tebaaak, ada berapa karakter di novel ini yang memiliki kesamaan dengan daftar "Your Typical YA Romance Characters" di atas???? Banyaakkk banget...I lost count.

Oke...seterah pembahasan tentang karakter cetek di atas, mari kita lanjut lagi. Kali ini saya akan membahas tentang "overused words/terms". Diantaranya:
  • Breathe --> Entah berapa kali kata "breathe" ini dipakai di novel ini, termasuk kombinasinya seperti "Breathe, Anna. Breathe" lalu "I can't breathe". Saya sampai berpikir, kalau sepanjang mendengarkan novel ini saya minum es kopi tiap kali dengar kata breathe, saya pasti sudah kena diare parah :(
  • Perfect --> kata ini terlalu sering muncul untuk menggambarkan suasana atau si love-interest.
  • Beautiful --> idem. kata ini juga terlalu sering muncul untuk menggambarkan si love-interest
Tambahan lagi, konflik-konflik yang terjadi di novel ini kebanyakan adalah karena karakter-karakternya "bereaksi berlebihan" terhadap sesuatu. Jeez, dramaqueen much?

Disamping kritik saya di atas, harus diakui, si penulis memang sangat jeli menyabet kesempatan dan peluang pasar, terutama para pembaca dari segmen remaja cewek dan wanita muda dengan menghadirkan sesuatu yang "berbau Paris". Karena, akui saja dech...banyaaaaakkk sekali cewek yang tergila-gila dengan image Paris sebagai kota penuh cinta dan kota yang romantis, dan, entah karena mereka memang asli tergila-gila dengan romantisme Paris ini, atau karena latah ikut-ikutan saja suka dengan romantisme Paris karena memang banyak cewek yang suka, atau karena ketularan hype. Entahlah...cobalah tanyakan pada diri anda sendiri. Eniwei, hal inilah yang diangkat si penulis karena dengan mudah, si penulis dengan ahlinya menyulap plot dan karakter biasa yang klise, dan menambahkan bumbu Paris, dan menyajikannya di nampan emas kepada pembaca yang tergila-gila akan Paris, dan BOOM! VOILA... Jadilah kisah ini tiba-tiba secara ajaib terasa romantis dan indah, more than it should be.

Kejelian si penulis juga dapat dilihat jelas dari penggambaran tokoh Etienne St. Clair. I mean, if you want a charachter that is lovable, why don't make him British who has an exotic French name??? Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa logat British itu SEXY. Saya sendiri sering klepek-klepek kalau dengar cowok dengan British accent, terutama yang daerah London, yum.... Dan tentu saja, nama Perancis yang Exotic macam Etienne juga bisa jadi nilai plus kan. Yuk coba dijumlahkan, logat British plus nama Perancis...hasilnya.....yupz! Dijamin banyak cewek akan tergila-gila dengan tokoh ini.

Satu lagi nilai plus buku ini adalah "Aura Paris" yang sangat terasa, mulai dari nama-nama Professor nya, menu makanan, sampai nama jalanan di sudut-sudut kota Paris juga banyaknya adegan jalan-jalan ke tempat-tempat wisata di Paris. Bahkan saya yang tidak tergila-gila dengan Paris pun sangat menikmati jalan-jalan ke Paris ini :)

Kamis, 18 Februari 2016

Looking For Alaska by John Green [review]

Title: Looking for Alaska
Author: John Green
263 pages
First published: 2013
Genre: Young Adult, Drama, Contemporary
My rating: 3/5

Segalanya berawal dari kepindahan Miles Halter ke sekolah menengah asrama Culver Creek di Alabama, Amerika bagian selatan yang panas, tempat ayahnya dulu juga bersekolah, untuk memenuhi ambisi pribadinya mencari "the Great Perhaps". Miles termasuk seorang penyendiri yang tidak punya teman di sekolah lamanya, dan lebih nyaman berdiam diri di kamar sambil membaca buku-buku biografi karena dia sangat terobsesi dengan "last words" dari orang-orang terkenal.

Teman sekamarnya di asrama, Chip Martin, atau biasa dipanggil "The Colonel" menjadi sahabat pertamanya. Melalui dia jugalah dia bertemu teman-teman yang bisa disebutnya sahabat: Takumi si murid dari Jepang, Lara si gadis Rusia...er...Norwegia, dan tentu saja Alaska Young yang serampangan yang membuatnya terpesona meski Alaska sudah punya pacar bernama Jack.

Kehidupan Miles (atau yang biasa dijuluki Pudge oleh teman-teman se-genk barunya) di sekolah asrama dipenuhi drama khas remaja: percintaan, persahabatan, kenakalan terhadap teman, diam-diam melanggar aturan sekolah dan berusaha untuk tidak ketahuan para guru, dan sebagainya. Hingga sebuah tragedi terjadi, dan Miles serta teman-temannya berusaha mencari jawaban akan sebuah misteri di balik tragedi tersebut: Apa? Kenapa? Mengapa?

Terus terang, buku ini memang nge-hype banget beberapa saat yang lalu (iya sih, semua buku John Green kayaknya lagi happening banget), dan banyak juga teman-teman yang memuji-muji buku ini dan memberi 5 bintang. Bahkan kala itu, saat buku ini baru diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia, saya sempat membelinya karena berbarengan dengan diskon besar salah satu online shop. Dan....buku ini sukses masuk timbunan koleksi buku-buku TBR yang well, entah kapan akan dibaca. Bahkan segelnya saja belum dibuka sampai sekarang, ngahahahaaaaa.....

Lha terus saya bisa selesai baca ini bagaiman caranya??

Begini ceritanya, beberapa hari yang lalu saya mendapatkan versi audiobook dari novel ini. Saya bahkan lupa siapa naratornya, namun yang jelas naratornya ini pinterrrr banget menyuarakan karakter setiap tokoh di buku ini: mulai dari suara The Colonel yang dalam dan bernada lambat, lalu suara Alaska yang kental dengan southern accent khas Alabama, lalu Lara dengan pronunciation huruf R kental ala Rusia....bahkan bagian lagu RAP nya pun dinyanyikan dengan bagus oleh si narator. Benar-benar menghibur :)

Terus terang saja ini audiobook pertama yang selesai saya dengarkan lho... hahahaa... Biasanya saya selalu mendengarkan audiobook untuk buku-buku klasik, yang sukses membuat saya tidur setelah 3 bab, kisah-kisah dongeng Perault atau Grimm atau HC Anderson yang biasaya saya dengarkan satu-persatu sebelum tidur, tidak terus menerus komplit satu buku selesai. Yeah, hasilnya banyak sekali buku klasik yang "mangkrak" karena saya sukses ketiduran tiap kali baru sebentar mendengarkan. Dan karena buku ini sangat kontemporer, dan tidak ada kata mendayu-dayu yang bikin ngantuk....well, you know I finished it.

Eniwei, buku ini sendiri menurut saya sama sekali tidak ada yang spesial.

Kenapa?

Plot yang biasa saja. Ini nggak buruk lho, nggak. Saya nggak bilang plotnya jelek kok *sembunyi dari para fans John Green* Namun demikian, menurut saya plot nya juga tidak spesial. Seperti kata saya tadi: biasa saja. So so. Drama anak SMA yang termasuk nerd, lalu punya teman, lalu suka sama cewek yang menurut dia 'out of his league', terjebak dalam dunia friendzone. Sounds familiar, guys? Yeah, I see this kind of pattern everywhere. Jadi, ya sudah....biasa saja.

Karakter-karakter yang juga biasa saja kecuali Miles. Dalam masalah karakter, saya akui karakter Miles memang sangat hidup dan sangat bulat, lengkap dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Namun karakter-karakter lainnya seolah memang "dipaksa" seperti itu. Terlalu kaku dan tidak luwes, termasuk karakter Alaska yang menurut saya menyebalkan. Bayangkan saja si Pudge mengagung-agungkan si Alaska ini bagai seorang Dewi dari khayangan, segalanya tentang dia dipuji-puji, padahal, let's face it, nothing special about her. Bad childhood? So what, banyak kok yang begitu. Moody. Eurgh....can this character be more annoying than that? Suka merokok, doyan mabuk dan doyan flirting sana-sini.....hmm, sounds like a total slut to me. Dan tentu saja kesan pertama si Pudge saat melihat Alaska....her boobs. Gosh, so cliche and booooriiinggg!

Tapi, tentu saja, saya sedang belajar melihat sesuatu secara objektif *muntah*, jadi saya akan beberkan juga kelebihan buku ini, yaitu:

Karakter Miles (Pudge) yang sangat well-developed, dan menarasikan seluruh buku ini karena memang buku ini diceritakan dari sudut pandang dia. Ini dia yang memberi nyawa buku ini, dan membuat buku ini seolah hidup dengan karakter utama yang begitu nyata. Apalagi kita seolah diajak berbicara langsung dengan Miles, dari cara si penulis menarasika tokoh ini. Mantap lah, untuk menutup kekurangan karakter-karakter lain yang tidak se-well-developed karakter Miles ini.

Filosofi-filosofi hidup yang diselipkan si penulis di sana sini, dari awal sampai akhir merupakan terobosan baru dalam penulisan buku bergende Young Adult. Mungkin memang saya saja yang kurang piknik, tapi saya memang belum menjumpai buku YA lain yang dipenuhi filosofi sebanyak buku ini. Ibaratnya hampir semua narasi di buku ini memang sengaja ditulis John Green agar quotable. Is that even a word? Da menurut saya inilah nilai plus plus buku ini. Oh, iya, satu lagi, adegan percobaan blowjob di buku ini freakin' hilarious! Bikin saya ketawa sampai nangis, yeah yeah...I'm low *hides behind a pillow*

Overall, buku ini menurut saya termasuk "okay" saja , jadi ya 3 bintang saja yaaa....heheee... Tapi bagi yang suka drama remaja kontemporer, pasti bakalan suka buku ini dech. See you in the next post! ^_^

Senin, 15 Februari 2016

JOGLOSEMAR UNITED: Valentine Specials - Romance Book Recommendations



Hallo...teman-teman semuanyaaa.... Pertama-tama, saya mau mengucapkan Happy Valentine dan Happy International Book Giving Day buat semuanya :)

Posting bareng BBI kali ini lumayan unik lho.... kenapa?! Karena postingannya tidak harus berbentuk review, jadi kita bebas mau nulis apa saja asal sesuai tema, isn't that fun? Yeah?

Itulah sebabnya postingan kali ini berisi rekomendasi novel romance yang passs banget buat dibaca di bulan penuh cinta ini *uhuk* yang disusun bersama dan dipersembahkan oleh anggota BBI Joglosemar dengan penuh cinta untuk semua teman-teman sekalian.

Okey, langsung saja yaaa.... inilah dia....

Joglosemar Romance Recommendations

















Rekomendasi di atas  (atas-bawah = kiri-kanan) merupakan persembahan dari: 


ALVINA, LILA, OPAT, TEZAR, DESTY, ASRI, DION, IKA, NURINA, OPAN, OKY, RAAFI, BZEE, WARDAH, DANI, CINDY, dan NINA.




Happy reading, friends.... ^_^



PS. Gambar cover diambil dari Goodreads

Oh iya, cek juga di sini untuk ngintip linky POSBAR BBI bulan Februari 2016

Minggu, 14 Februari 2016

The School for Good and Evil by Soman Chainani [review]

Title: The School for Good and Evil (#1)
Author: Soman Chainani
Language: English
488 pages, 2013
Genre: Fantasy
My rating: 3/5


"Beauty can only fight truth so long, Agatha." - Professor Clarissa Dovey
Dua ratus tahun yang lalu, dua orang anak menghilang dari Gavaldon yang dikelilingi hutan belantara. Penduduk mengira mereka tersesat di hutan atau dimakan beruang....hingga empat tahun kemudian dua orang anak lagi menghilang. Demikian seterusnya yang terjadi setiap empat tahun sekali: dua orang anak menghilang secara misterius dari desa tersebut.

Misteri hilangnya dua anak tersebut lambat laun terungkap sejak wajah anak-anak hilang tersebut muncul di lukisan fairytale-fairytale legendaris: Jack and the beanstalk, Hansel and Gretel, Cinderella....you name it. Dua anak yang menghilang setiap empat tahun sekali tersebut diculik oleh Master Sekolah untuk dididik agar menghasilkan fairy tale: satu anak yang tampan atau cantik dan baik hati, dan yang satu anak bertampang muram, jelek dan nakal. Mereka masing masing dibawa ke School for Good dan School for Evil.

Sophie memiliki tubuh bak seorang putri raja; kulit mulus tanpa noda, rambut panjang berkilau berwarna keemasan, serta mata hijau yang indah. Sekali menebar senyum, semua anak laki-laki pastilah bertekuk lutut. Dia sangat ingin Master Sekolah menculiknya dan membawanya ke School for Good demi mengejar impiannya menjadi seorang putri, demi 'happily ever after'. Dia bahkan sengaja melakukan 'good deeds' demi mencapai tujuannya, termasuk berteman dengan gadis aneh penyendiri bernama Agatha yang tinggal di kuburan.

Segalanya menjadi membingungkan ketika Sophie, yang pada akhirnya memang diculik oleh sang Master Sekolah, ditempatkan di School for Evil, sedangkan Agatha ditempatkan di School for Good. Pasti ada kesalahan! Seluruh penghuni sekolah termasuk para gurupun berpendapat Sophie terlalu princessy untuk School for Evil, dan Ahgatha terlalu witchy untuk School for Good.

"Who needs princes in our fairy tales?"
Kekacauan bertubi-tubi terjadi di sekitar Sophie dan Agatha, terutama ketika pangeran Tedros dari Camelot, putra sang Raja Atrhur terlibat dan berhasil memikat hati si cantik Sophie. Sophie berambisi membuat Tedros jatuh cinta padanya, dengan bantuan Agatha yang sangat ingin kabur dari sekolah dan pulang ke desanya. Masalahnya, belum pernah sekalipun seorang pangeran menjalin hubungan dengan seorang witch.

Kekacauan yang lebih besar terjadi dan membuat bingung para guru: Good selalu menang melawan Evil selama dua ratus tahun terakhir, padahal keseimbangan antara Good dan Evil harus dijaga. Apa sebenarnya yang terjadi? Terutama ketika bahkan tak seorangpun pernah bertemu dengan sang Master Sekolah. Di sinilah Agatha dan Sophie merangkai fairy tale mereka sendiri.

Membaca buku ini memang sangat menghibur dan ringan. Namun entah kenapa saya tidak terlalu suka dengan gaya penulisannya. Dua karakter utamanya entah kenapa gampang banget berganti suasana hati dan berganti perasaan, bahkan, well, bukan cuma dua karakter utamanya saja lho, tapi semua karakter di novel ini terkesan plin-plan dan tidak punya pendirian. Yeah, kalau satu atau dua karakter seperti ini, mungkin memang disengaja oleh si penulis, tap kalau semua??? Well, something is wrong here. Memang sih ini buku fantasy dimana hal-hal ajaib bertaburan, tapi plis deh, bukan berarti ...cring...tiba2 si A bisa begini, ....criiing... tiba2 si B bisa begitu. Hubungan sebab-akibat itu harus selalu ada bahkan di novel fantasy loh...tapi entah kenapa saya merasa banyak sekali blank saat membaca novel ini, banyak hal yang seolah2 memang tidak dijelaskan karena ya sudah, memang tidak dijelaskan. Bikin kesel juga sih, dan hampir saya kasih cuma dua bintang aja. Hampir.

Mau tau nilai plus nya???

Pesan moral yang disematkan si penulis di buku ini.

Yups, si penulis mengedepankan tema fairy tale dan membeberkan secara mendalam (namun tersirat) segalanya yang salah pada kisah fairy tale. Mulai dari penggambaran para putri yang selalu cantik tanpa cela, berpakaian renda-renda dan bergaun warna pink atau biru atau silver, eurgh...karena, let's face it: terlahir sebagai seorang putri atau bangsawan tidak otomatis membuatmu menjadi cantik! Dan satu lagi kritik si penulis tentang fairy tale: tokoh para putri yang sepertinya selalu "mendambakan kecantikan dan kesempurnaan". Cinderella rings a bell?

Yang kedua, tokoh para putri (atau gadis pada umumnya) yang HARUS selalu menunggu sang ksatria atau sang pangeran berpedang dan berbaju zirah untuk datang menolong. The legendary damsel in distress. Bahkan secara tersirat si penulis mengkritik tentang wanita yang "dilarang mempertanyakan otoritas pria" juga tentang para putri yang "pingsan pada saat yang tepat (seperti saat melihat darah)". Aurora dan Snow White contohnya.

Dan puncaknya, setelah puass mengolok-olok stereotype di dalam kisah-kisah dongen klasik, si penulis seolah menyatakan bahwa sekarang dunia sudah berubah. Penyihir jahat bisa saja bertampang seksi dan cantik menawan, dan seorang putri bisa saja berparas buruk rupa...dan satu lagi: para putri masa kini tidak menunggu untuk diselamatkan oleh sang pangeran. Mereka menulis takdir mereka sendiri, fairy tale mereka sendiri, dengan tangan mereka sendiri....tanpa pangeran.

Oh iya, buku ini juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia lho. Happy Valentine and Happy International Book Giving Day 2016, everyone! See you in the next post ;)

Rabu, 10 Februari 2016

Heir of Fire by Sarah J. Mass [review]

Title: Heir of Fire (Throne of Glass #3)
Author: Sarah J. Mass
562 pages
Language: English
Genre: Fantasy
My rating: 5/5

"See what you want, Aelin, and seize it. Don't ask for it; don't wish for it. Take it." -- Prince Rowan the Fae (Chapter 28)
Akhir buku ke dua membeberkan identitas Celaena yang sebenarnya. Long story short, dengan petunjuk yang diberikan Celaena sebelum keberangkatannya ke Wendlyn (beneran ini nggak ya nama negeri seberang itu, agak2 lupa nama2 tempatnya ngahahaaaa) kepada Chaol Westfall sang Captain of the Guard, si Kapten akhirnya mengetahui jatidiri Celaena yang sebenarnya. Untunglah hal ini justru menyelamatkan nyawanya saat berkonfrontasi dengan Aedion yang baru kembali dari Terrasen atas perintah sang raja.

Celaena Sardothien, sang assassin pribadi dan King's Champion, justru mengalami perjumpaan tak terduga namun terduga (halah) dengan sang ratu Fae yang melegenda (iya jelas melegenda, umurnya entah sudah berapa ribu tahun dia, wkwkwk), Maeve. Celaena berusaha mencari jawaban akan pertanyaannya agar bisa mengalahkan sang raja tiran di Adarlan, namun Maeve menuntut agar Celaena bisa membuktikan diri sebelum masuk ke kota Fae dan mendapat jawaban dari pertanyaan misteriusnya. Caranya: Maeve memerintahkan abdinya yang bernama Prince Rowan (warrior yang sudah mengikat sumpah darah untuk setia pada Maeve) untuk menjadi tutor pribadi Celaena. Dan tentu saja, tak ada kisah fantasy tanpa "latihan keras" sang tokoh utama demi meraih cita-cita, wakakaa....klise juga sih, tapi entah kenapa bagian yang rasanya harus wajib ada di semua novel fantasy ini justru bagian paling penting karena merupakan titik balik si tokoh utama dan perubahannya dari ZERO menuju HERO.

Sementara itu di Adarlan, buku ini diceritakan dengan memfokuskan ke 3 tokoh sentral: Dorian Havilliard sang Putra Mahkota Adarlan yang sedang berusaha melatih kemampuannya sekaligus merahasiakannya dari ayahnya sang raja tiran dengan bantuan seorang Healer muda; Chaol Westfall yang sedang (lagi-lagi) menggalau karena dia tak tahu entah harus setia pada negaranya atau pangerannya atau mantan pacarnya (wakakakkkk, aneh memang bagian ini), dan Aedion  Ashryver, sang Pangeran dari Terrasen yang membelot dan akhirnya menjadi jendral Raja Adarlan.

Saya tidak berani cerita panjang lebar tentang novel ini karena takut menebar spoiler, and you know kalau spoiler itu nyebelin kan? So, saya mau komentar sdikit tentang buku ini saja, okey...

Membaca buku ini itu cukup bikin kaget, karena ceritanya fokusnya jauh dari buku keduanya. Bukannya nggak nyambung atau bagaimana, justru bagus lho. Kepergian Celaena ke seberang lautan menjadi penentu arah cerita ini, karena sepertinya selain Celaena, tokoh-tokoh sentral yang lain pun seperti menemukan jalan ceritanya masing-masing tanpa harus terfokus pada si Celaena. She's not the center of the universe, come on. Walau memang sih...ujung2nya cerita mereka mbulet mbalik terfokus ke Celaena lagi, ngahahahaaa...yah, tokoh utama, gituuu...

Satu hal lagi yang unik dari seri ini adalah, si penulis tidak serta merta menerapkan old-fashioned romance di novel fantasy, seperti misalnya: tokoh cewek dan cowok yang ketemu di awal cerita pastiiiii jadian. NOOO...! Plot seperti itu basi banget sumpah! Uniknya, si tokoh utama bahkan mejalin hubungan dengan tiga individu berbeda di tiga seri yang berbeda, how cool is that, huh? I mean, that's real life. You don't live your life like in a book, focus on one person for the entire plot, meh... Satu hal yang saya agak terkejut tapi senang adalah relationship antara Rowan dan Celaena di buku ke 3 ini, benar2 wow...tapi catet, hubungan mereka lebih seperti best of bestfriends, atau siblings. Nothing romantic, but yeah....you'll get what I mean by reading it yourself.

oke, maap...kenapa saya jadi switch-switch bahasa begini!? *pasang tampang histeris* Satu lagi, saya sudah bilang kan saya nggak begitu suka sama salah satu karakter cowok penting di buku ini (liha review saya sebelumnya) yang tidak akan saya sebutkan namanya *uhuk* Chaol *uhuk*. Ya ampun heran banget kenapa love interest nya tokoh utama nggak memiliki karakter yang lebih jagoan dikit sih, plin-plan abiiisssss..... dannnn kita akan terus menyaksikan keplin-planannya sampai akhir buku ke 3 ini. Bagus, Chaol *sinis*

Overall, saya memberi rating 5/5 karena plot yang tidak biasa untuk sebuah sequel, menurut saya. sangat...apa ya istilahnya...BOLD. Nggak melulu si ini harus begini atau begitu, dan unsur kejutannya juga lebih tidak mudah ditebak. Saya bahkan masih merasa hungover habis baca buku ini dan belum berani lanjut ke buku ke 4 sebelum revisian saya selesai *oh, no....* Jadi inget saya ada deadline, udah dulu yach, bye.... see you in my next post :)

Sabtu, 06 Februari 2016

Crown of Midnight by Sarah J. Mass [review]

Title: Crown of Midnight (Throne of Glass #2)
Author: Sarah J. Mass
418 pages
First published: 2013
Genre: Fantasy
Language: English
My rating: 4/5

"Everything in this world is magic." -- Mort
Ini buku kedua dari serial yang lagi nge-hype "Throne of Glass ". Review buku pertamanya bisa dilihat di postingan review saya sebelumnya. Dan karena ini review buku kedua, jika kalian belum baca buku pertamanya, JANGAN baca postingan ini karena takut mengandung spoiler. Ya, tapi kalau tetap mau baca sih nggak papa, but don't blame me, oke? heheee....

Oke, here goes....

Celaena Sardhotien sudah resmi dinobatkan sebagai King's Champion. Meaning? Sang Raja memiliki kuasa untuk memberikan secarik kertas bertuliskan sebuah nama: nama musuh sang Raja yang harus dibunuh sesegera mungkin oleh Celaena. Dalam hal ini, Celaena tak lain dan tak bukan merupakan assassin pribadi Raja Adarlan yang kejam.

Dorian, Chaol dan Putri Nehemia semua tak meragukan kesetiaan Celaena pada sang Raja, meski mereka tidak menyetujui pekerjaan Celaena. Celaena selalu berhati-hati dengan misinya sampai sang Raja memberinya secarik kertas dengan sebuah nama yang harus dibunuhnya: Archer Finn. Raja berpendapat Archer Finn merupakan salah satu orang dalam para pemberontak. Masalahnya? Celaena sangat mengenal Archer ketika mereka berlatih bersama di Assassin's Keep. Celaena tidak tahu pihak mana yang harus dia pilih hingga tragedi mengerikan merenggut salah satu orang terdekatnya, dan membuatnya terpaksa memburu si pembunuh sahabatnya ini.

Karena takut spoiler, saya tidak akan membeberkan lebih lanjut apa yang akan terjadi di sini, termasuk salah satu tokoh penting yang bakal mati, ngahahaaa...

Oh, iya, jika kalian membaca buku pertama, ada sedikit romantisme antara Celaena dan, ehem, tau sendiri kan? Apakah akan berlanjut di buku kedua? Sayangnya tidak! Celaena justru lebih memilih berhubungan dengan si uhuk, yang menurut saya karakternya agak plin-plan! hih, kenapa pula si Celaena ini mau sama si plin plan....oke, saya ngelantur, maapkeun, hahahaha...

Oh iya, di buku kedua ini, ada dua kejutan yang akan dibeberkan di akhir cerita. Sayangnya saya sudah bisa menebak salah satu kejutannya sejak chapter 11, ouch...jadi kurang greng gitu kejutannya. Tapi saya cukup senang lho dengan kejutan satunya yang tidak bisa saya duga, hehehee.... sayang sekali saya tidak bisa cerita panjang lebar karena takut menebar spoiler ;)

Eniwei, saya sebenarnya memberi 4,5 bintang untuk buku ini, yang saya akui jauh lebih bagus dari buku pertama. Namun saya tidak bisa memberi 5 bintang sempurna karena ya itu tadi...ada bagian yang sudah bisa saya tebak dengan mudah. Berdoalah semoga kalian bukan pembaca yang suka menebak-nebak seperti saya, jadi bisa full menikmati surprise demi surprise yang ditumpahkan di akhir cerita.

Disamping kekurangan tadi, nilai plus buku ini bisa dilihat dari penokohannya yang bagus, penggambaran karakter-karakternya hampir semuanya bulat, plotnya juga kuat, dan pacenya passss sekali, cepat namun tidak terlalu cepat. Oh iya, dengar-dengar saat ini series ini sedang dalam proses diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lho.... ;)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...