Sabtu, 30 Juli 2016

Fortunately, The Milk by Neil Gaiman [review]

Title: Fortunately, The Milk
Author: Neil Gaiman
113 pages, audiobook version in English
First published: 2013
Genre: Children
My rating: 3/5

Ketika aku dan adikku akan sarapan sereal pagi itu, ternyata susunya habis! Ibu sedang tidak di rumah. Tentu saja ayah yang akhirnya pergi untuk membeli susu untuk sarapan. Agak lama juga ayah pergi membeli susu, yang seharusnya tak selama itu. Namun begitu kembali dari membeli susu, ayah menceritakan kisah pembelian susunya yang aneh. Ayah berkata dia bertemu alien. Alien! juga dinosaurus, dan perompak! Apakah aku dan adikku percaya cerita ayah?

Saya mendengarkan versi audiobook kisah ini yang hebatnya, dibacakan sendiri oleh om Neil Gaiman!!! And, let me tell you, suaranya dia.... awww....seksi banget! Deep and animated voice, kind of soothing, sampai saya sempat sekali ketiduran waktu mendengarkan gara-gara suaranya si Om menenangkan banget. Pas banget dech buat dongeng sebelum tidur. Alhasil besoknya saya ulangi lagi ndengerin ceritanya dari awal karena lupa ceritanya sampai mana pas ketiduran itu, hehehee... Tapi saya jadi pengen baca buku aslinya untuk melihat berbagai macam ilustrasinya yang denger-denger sangat wow.

Eniwei, ceritanya memang bagus banget, dan karena memang untuk anak-anak, ya ceritanya anak-anak banget, hahaha... Tapi entah kenapa saya ya biasa aja. Suka sihh...tapi nggak sampai ter-wow begitu. Mungkin lain ceritanya kalau saya baca ini pas saya masih umur 9 tahun. Rasanya saya bakal jatuh cinta pada kisah macam ini jika saja buku ini sudah ada saat saya masih kecil :)
Tapi memang sih, jika kalian mencari bacaan untuk anak-anak, buku ini akan masuk dalam daftar top ten rekomendasi dariku, karena ceritanya memang luar biasa bagi anak-anak... mulai dari plot ceritanya, karakternya, diksinya...semuanya pas untuk anak-anak. Taburan adjectives dan advebs yang digunakanpun beragam dan kaya, mengenalkan anak pada kata-kata yang tidak terlalu dipakai dalam percakapan sehari-hari, namun akan sering ditemui pada kisah-kisah dongeng dan fantasy. Ahhh, two thumbs up dech ini. Anak saya besok akan saya bacain ini, hahahaa....

See you in the next post ^_^

Sabtu, 23 Juli 2016

The Martian by Andy Weir [review]

Title: The Martian
Author: Andy Weir
369 pages, audiobook version in English
First published: 2011
Adapted into film: 2015
Genre: Science-Fiction
My rating: 5/5

Mark Watney, seorang engineer dan ahli botani, sedang menjalankan misi bersama kelima anggota kru Ares 3 di Planet Mars ketika badai menghantam Mars dan kecelakaan membuatya terlempar dan terpisah dari anggota kru lainnya. Mengira Mark sudah meninggal dalam misi, kelima astronot yang lain segera hengkang dari Mars dengan mendadak dan segera menghentikan misi di Mars yang sebenarnya belum selesai karena keadaan semakin genting.

Pendarahan yang dialami Mark justru menyelamatkan nyawanya di planet yang hampir tak memiliki tekanan tersebut. Namun Mark yang terdampar di Mars seorang diri tidak menyerah. Dia melakukan usaha-usaha gila untuk bertahan hidup, paling tidak sampai dia bisa mengontak Bumi atau menunggu kedatangan kru Ares 4 yang akan dijadwalkan sampai ke Planet Mars 4 tahun lagi.

Saya sebenarnya masih dalam keadaan hangover parah karena baru 3 jam yang lalu saya selesai mendengarkan audiobooknya, dan baru sejam yang lalu saya selesai menonton film-nya. Dua-duanya cukup membuat saya terkesima, terlebih bukunya, jujur saja.

Sejak tahun 2015 sebenarnya ovel ini sudah bikin heboh karena banyak yang bilang bagus banget lah, lucu lah, dan sebagainya. Saya juga sempat membaca hanya 2 bab, namun entah kenapa saat itu saya memang sedang bosan dengan sci-fi, jadi saya memutuskan menutup buku ini agak lama sejenak. Sebenarnya baru dua hari yang lalu saya mendapatkan audiobooknya, dan W.O.W. saya benar-benar terpesona dari awal hingga akhir. Tidak sia-sia ternyata perjuangan saya untuk tidak menonton filmnya dahulu sebeum membaca bukunya, hahahaaa...

Saya nggak tahu lagi mesti bilang apa kecuali THIS BOOK IS SO DAMN GOOD..!!!
Ehem, please pardon my language.

Karakter Mark Watney yang sangat kocak, inovatif, namun juga pantang menyerah berhasil memukau saya sejak kalimat pertama. Detail-detail tentang dunia per-astronot-an juga berhasil banget membuat saya ter-wow berkali-kali. Saya bahkan sampai berpikir ini jangan-jangan si penulis mantan astronot atau seorang ilmuwan dari NASA juga ya? Hmmm.... saking detail-nya, aduuuh....hebat banget pokoknyaaa.... ini buku sci-fi yang science-nya bertaburan bak bintang di langit *peluk baju astronot* namun di beberapa bagian bisa membuat saya tertawa sampai sakit perut. Aku cinta padamu, Mark Watney....... #Fangirling-mode-on

Adegan yang paling membuat saya gemetar tegang dan excited adalah adegan klimaksnya, puncaknya ketika....*sensor*...... you know what, read it yourself, then you'll know. Dan karena saya memang mendengarkan versi audiobooknya, bagian klimaks cerita ini sukses membuat saya eargasm, hahahaaa.... aduh, pokoknya itu bagus banget gilak! Saya sampai nangis terharu saat endingnya, SOOOOO GOOD...:)

Oh iya, pada tahun 2015 film adaptasi dari novel ini yang disutradarai oleh Ridley Scott dan diperankan oleh Matt Damon dan Jessica Chastain berhasil menyabet 7 nominasi Oscar. Meskipun harus diakui, karakter Mark terkesan agak terlalu serius saat dimainkan oleh Matt Damon, namun overall, filmnya sendiri keren banget, terutama adegan "Iron Man"-nya. You know when you see it yourself *wink*. Berikut penampakan poster film-nya:
See you in the next post ^_^

Sabtu, 16 Juli 2016

Glass Sword by Victoria Aveyard [review]

Title: Glass Sword (Red Queen #2)
Author: Victoria Aveyard
First published: 2016
444 pages, audiobook version
Language: English
Genre: Fantasy
My rating: 2/5

"Anyone can betray anyone."

RED

SILVER

NEW-BLOOD

Di Norta, manusia hidup berdasarkan kategori warna darah mereka. RED sebagai manusia biasa yang lemah, maka mereka selalu menjadi bawahan, prajurit, pelayan, orang-orang suruhan. SILVER sebagai manusia dengan kekuatan supernatural yang berbeda bagi tiap individunya, maka mereka selalu menjadi atasan, pemimpin, bangsawan, raja dan ratu.

Lalu ada NEW-BLOOD, manusia yang terlahir dengan darah berwarna merah, namun dengan mutasi genetis yang membuat mereka memiliki kemampuan supernatural layaknya para silver...bahkan... disinyalir mereka bisa lebih kuat dari para silver. Kekuatan mereka jauh lebih beragam dan lebih diluar dugaan...dan tanpa batasan.

Mare Barrow yang didapuk sebagai THE LIGHTNING GIRL, bersama Cal sang pangeran Silver yang terbuang, kakak Mare yang paling akrab Shade yang juga seorang New-Blood, Kilorn sahabat Mare, serta Farley dari Scarlet Guard akhirnya melanjutkan pemberontakan mereka terhadap Maven, Raja baru Norta yang jahat. Mereka sama-sama memiliki daftar nama para New-Blood, dan berlomba-lomba mencari mereka. Mare dan kawan-kawannya untuk menyelamatkan, merekrut dan melatih mereka; Maven untuk menangkap dan membunuh mereka.

Jujur saja sequel ini sungguh klise dan mengecewakan bagi saya, ditambah lagi tidak ada plot twist mengejutkan di akhir cerita layaknya di buku satu kemarin, membuat saya makin "meh" terhadap buku ini. Saya mendengarkan versi audiobooknya dan berkali-kali saya bahkan tertidur saking bosannya, heheee... Saya sampai sengaja mendengarkan ini sambil 'mewarnai' buku coloring book Fantasia saya untuk mencegah saya ketiduran saat mendengarkan, hwahahaaa...

Menurut saya isi novel ini sangat membosan, dari awal sampai akhir hampir seluruh adegannya diisi dengan perjalanan grup pemberontak ini dari satu tempat ke tempat lain, untuk melakukan ini itu yang sebagian besar berupa perekrutan anggota baru New-Blood. Jika tidak begitu, diisi dengan Narasi dari Mare Barrow si tokoh utama yang sedang mempertanyakan "apakah aku bisa mempercayai si ini?" atau "apakah dia akan mengkhianatiku?" Astagaaa.... paranoid boleh lah, tapi kalimat "anyone can betray anyone" yang sepertinya dipegang teguh sebagai pedoman hidup Mare rasanya makin membosankan jika hampir di setiap bab tokoh Mare selalu mengatakan itu dengan frasa yang berbeda-beda namun tetap mengandung makna yang serupa. Saya sebagai pembaca/pendengar jadi bosan bukan kepalang. Iya iyaaa, saya tahu kamu paranoid, Mare Barrow, tapi kan nggak perlu itu dibeberkan di setiap bab. We get the idea, even from the book one, okay?

Hal membosankan ini menurut saya diperparah dengan penokohan-penokohan yang terkesan nanggung, terutama untuk karakter tokoh utama, saya bahkan tidak bisa mendeskripsikan apakah Mare itu baik hati? tidak juga. Egois? tidak juga. Plin-plan tidak juga, tapi tidak punya pendirian mungkin iya. Dan jujur saja, "tidak punya pendirian" sepertinya bukan kata sifat yang keren untuk menggambarkan tokoh utama karena itu akan membuat keseluruhan ceritanya menjadi boring. Karakte yang tergambarkan dengan bagus justru karakter Cal, Maven dan Mr. Barrow, ayahnya Mare. Selebihnya terasa sebagai figuran.

Mungkin karena saya pecinta sarkasme dan humor alam dialog juga berpengaruh terhadap penilaian saya tentang novel ini, karena sepanjang 444 halaman, total novel ini terasa sangat monoton, flat, begituuuuu terus ceritanya: berkelana, merekrut, bentrok dengan Silver, Mare mempertanyakan ini itu di narasinya, lalu begitu lagi dari awal, seperti siklus tanpa henti.

Yah, karena sudah terlanjur kecewa, mungkin saya tidak akan membaca lanjutannya. Eh, bakal ada lanjutannya kan? Atau tidak? Ah, masa bodo, hahahaa...

Eniwei, saya juga nggak ngerti kenapa judulnya Glass Sword. Sepanjang cerita nggak mengungkit-ngungkit keberadaan pedang apapun tuh, atau "glass" apapun tuh. Jadi apa sebenarnya maksud "glass sword" di sini ya? Apa mungkin ungkapan yang menggambarkan sesuatu? Istilah yang merujuk ke sesuatu yang lain mungkin? Ah, sudahlah, mungkin hanya si penulis dan Tuhan yang tahu.... meski harus saya akui, cover bukunya memang cakep banget :)

Oh iya, ngomong-ngomong buku pertamanya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia lho.... kilat ya... Apakah ini akan diterjemahkan juga?

See you in the next post ^_^

Sabtu, 09 Juli 2016

Alice's Adventures in Wonderland by Lewis Caroll [review]

Title: Alice's Adventures in Wonderland (#1)
Author: Lewis Caroll
89 pages, e-book version
Language: English
First published: 1865
Genre: Classic, Children
My rating 1/5

"But I don't want to go among mad people." | "Oh, you can't help that. We're all mad here." -- a dialog between Alice and the Cat--
Alice adalah gadis kecil yang serba ingin tahu. Saat sedang bersama kakaknya membaca buku, dia melihat seekor kelinci putih yang memakai jas dan membawa jam saku dengan panik mengira dirinya terlambat. Alice kecil pun mengikuti si kelinci masuk ke lubangnya, yang membuatnya mendarat di Wonerland.

Alice bertemu banyak hal dan melihat banyak hal di Wonderland, mulai dari kucing yang suka nyengir, caterpilar, the Mad Hatter, sampai sang ratu dan pasukan kartunya.

Saya yakin banyak dari kalian sudah tahu garis besar dari buku anak legendaris ini, meski belum pernah membaca bukunya langsung sekalipun. Itulah kelebihan sebuah cerita klasik, luar biasa terkenal dengan banyak sekali adaptasi hingga tak perlu membacanya pun sudah tahu, hahaaa...

Nah, karena buku ini sangat terkenal, saya sengaja menyempatkan diri membacanya. Mungkin karena terkenal inilah ekspektasi saya terlalu tinggi. Toh ini buku yang disukai banyak sekali pembaca, pasti saya juga suka, begitulah pikir saya. Ah, tapi nyatanya tidak. Saya beneran kecewa dengan isi ceritanya. Rasanya entah kenapa saya mendapat kesan, saat membaca buku ini saya sedang masuk ke gudang yang berantakan. Seolah si penulis melemparkan dengan asal-asalan apa saja yang berkelebat di pikirannya tanpa ditata rapi terlebih dahulu. Makes me wonder....kok cerita bagini bisa terkenal banget ya? Yeah, mungkin waktu pertama kali terbit, belum banyak cerita-cerita dengan makhluk-makhluk ajaib bertebaran di dalamnya, wakakaaa #sotoy ;p

Namun sekali lagi, ini hanya pendapat saya lho, dan karena buku ini tipis, saya justru menyarankan kalian membacanya, baru setelah itu bisa berkomentar apakah kalian suka atau tidak. Karena meskipun saya tidak suka, nyatanya banyak lho, yang memfavoritkan buku ini. Siapa tahu, justru ini bacaan yang 'kamu banget' ^_^

See you in the next post ^_^

Sabtu, 02 Juli 2016

The Viscount Who Loved Me by Julia Quinn [review]

Title: The Viscount Who Loved Me (Bridgerton #2)
Author: Julia Quinn
354 pages, e-book version
Language: English
First published: 2000
Genre: Historical Romance
My rating: 4/5

"Love isn't about being afraid that it will all be snatched away. Love's about finding the one person who makes your heart complete, who makes you a better person than you ever dreamed you could be." --Anthony Bridgerton--
Anthony Bridgerton sang Viscount yang berumur 29 tahun memutuskan untuk menikah tahun ini. Dia memutuskan untuk menikahi wanita yang cantik dan pintar, namun tidak dicintainya. Dia tidak mau terikat pernikahan yang membuat istrinya jatuh cinta padanya, ataupun sebaliknya. Dia punya alasan kuat dalam hal ini. Alasan yang mungkin dianggap aneh oleh sebagian besar orang, namun baginya terasa nyata.

Katherine (Kate) Sheffield yang berumur 21 tahun datang ke London dari Somerset sebagai debutante pada musim ini. Memang umurnya yang sudah terbilang "tua" untuk pertama kalinya mengikuti London Season. Namun apa mau dikata, keluarganya tidak punya cukup uang, sehingga dia menjadi debutante pada tahun yang sama dengan adiknya, Edwina yang meski baru berumur 17 tahun, sudah menjadi primadona baru di London Season tahun 1814 ini.

Anthony yang hanya berpikir praktis, berencana menjadikan Edwina Sheffield yang luar biasa cantik sebagai istrinya. Namun Edwina telah dengan tegas menyatakan bahwa dia takkan menikahi pria dengan persetujuan kakaknya, Kate. Anthony pun berusaha menarik hati Kate, namun Kate yang sudah mendengar reputasi buruk Anthony yang suka bermain perempuan tentu berusaha menghalang-halangi usaha Anthony mendekati adik kesayangannya yang cantik jelita. Namun apakah usaha Kate ini berhasil ketika kebencian yang timbul antara Kate dan Anthony justru memunculkan hasrat dan nafsu yang tak bisa dijelaskan?

Novel ini adalah buku kedua dari seri Bridgerton. Jika Novel pertama menceritakan tentang anak keluarga Bridgerton yang nomor 4, novel ini justru bercerita tentang anak nomor 1. Jika dibandingkan dengan buku pertamanya, penokohan-penokohan di novel ini terasa lebih matang dari buku sebelumnya, dua karakter utamanya kuat dalam pendeskripsiannya. Yang terlihat paling jelas memang karakter utama wanita yang digambarkan memiliki sikap dan sifat, maupun tindak-tanduk yang khas (tidak seperti karakter Daphne di buku pertama yang cuma digambarkan biasa saja).

Secara plot juga lebih menarik dari buku pertama, terlebih karena mengangkat isu psikologis dari kedua tokoh sentral, meski menurut saya memang reaksi kedua tokoh ini agak terlalu lebay hehehe... Humor-humor yang terselip di sana sini juga sangat lucu dan sukses membuat saya terpingkal-pingkal. Namun entah kenapa adegan "lebah" yang digadang-gadang tidak selucu yang saya harapkan karena, well, beberapa teman saya sudah sedikit membocorkan mereka akan "blablabla karena lebah". Jadi saya sudah agak menebak arah ceritanya sejak itu, dan...benar saja, adegan yang seharusnya lucu sudah tidak lucu lagi bagi saya, sayang sekali...

Setelah dua kali membaca seri Bridgerton ini, saya menemukan sedikit kesamaan dalam kedua buku ini, yaitu menurut saya, dua pertiga bagian pertama novel2 ini justru bagian yang paling bagus. Entah kenapa dua kali saya tidak terlalu sreg membaca bagian klimaks dan penyelesaiannya yang terdapat di sepertiga terakhir novel2 ini. Saya justru cenderung mengantuk membaca bagian yang mendekati ending ini, hmmm.....

Eniwei, setelah 2 kali membaca genre ini, sumpahhh saya sudah bosaaannn dengan genre iniii.... hahahaa.... sepertinya saya memang masih setia pada fantasi atau sci-fi atau children book saja :D :D

Oh iya, buku ini juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan cover seperti ini:

See you in the next post ^_^

Selasa, 28 Juni 2016

Seven Bookish Confession

Bulan Juni ini hectic banget buat saya sampi-sampai saya tidak sempat sama sekali membuka dan mengurusi blog. Utunglah postingan-postingan saya sudah dijadwal muncul seminggu sekali, heheheee..... Nah, berhubung saya sudah keluar dari gua dan berhenti bersemedi, kebetulan juga tema posbarnya sepertinya unik, saya sekalian mau buka-buka rahasia nih...

1) Saya mengaku sebagai pembaca yang cinta printed books, dan, memang benar...saya bahagia jika melihat printed books terpajang di dalam lemari saya. Terpajang doank tapi...nggak dibaca, karena kenyataannya saya justru sering membaca e-book.

2) Sudah dua tahun belakangan ini saya hampir tidak pernah membeli buku baru dengan harga normal. Jujur saya, buku baru dengan harga normal itu bagi saya sangatlah mahal. Jadi saya justru sering membeli buku-buku yang sudah didiskon, memang sih biasanya buku-buku itu terbitan lama, pinggirannya kadang sudah kuning, plastiknya sudah agak robek, tapi jika bisa mendapatkan buku dengan harga hanya 10 atau 20 ribu saja, saya tak masalah.

3) Saya lebih sering membaca buku berbahasa Inggris yang kadang bahkan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan biasanya berbentuk e-book. Seenarnya pengeeeeeennnnn banget koleksi printed booksnya, tapi harganya itu biasanya sangat WOW buat saya, juga saya yang tinggal di desa ini susah sekali untuk mendapatkan akses ke buku-buku bebahasa Inggris. Jadi maafkan kalau e-book yang biasanya saya dapatkan memang diragukan...ehm...legalitasnya *malu*

4) Saya baru mengenal novel-novel berbau kipas sejak kenal BBI dan sudah berumur kepala dua ;p

5) Guilty pleasure saya adalah memaca fanfiction. Fandom Harry Potter adalah tempat kerinduan saya pada Harry bisa sedikit terhapuskan (halah) ;p, karena bagi saya, Harry Potter yang cuma 7 buku itu nggak akan pernah cukup, lagi...lagi....lagiii.... *maruk*. Dan pairings favorit saya itu Harry/Draco ngahahahaaaa..... aduh ini pengakuan dosa banget inihhh... *sembunyi di balik bantal* #IkaKotor

6) Sampai sekarang saya tidak tahu dan masih bingung tata cara blogtour karena belum pernah ikutan dan tidak tertarik, hahahaaa.... Blogtour itu apa? Aku di mana? Kamu siapa?

7) Saya sering kemana-mana bawa buku, dengan niat mau membaca di semua tempat kalau pas lagi senggang, atau lagi menunggu sesuatu, ngantri dan sebagainya, tapi biasanya saya buka cuma satu halaman, dan apa yang saya baca justru tidak tertangkap otak saya sama sekali. Sering satu paragraf saya baca berulang-ulang namun tetap nggak mudeng. Iya sih saya tahu saya memang lebih enjoy baca di tempt sepi. Tapi toh tetap aja saya mencoba bawa dan baca buku di tempat umum meski tahu sebenarnya besoknya bakal saya baca ulang di kamar, heheheeee...

Sekian pengakuan tujuh dosa saya mengenai buku, jangan diketawain yaaa, malu, heheheeee....

See you in the next post ^_^

Sabtu, 25 Juni 2016

The Duke and I by Julia Quinn [review]

Title: The Duke and I (Bridgerton #1)
Author: Julia Quinn
384 pages, e-book version
First published: 2000
Language: English
Genre: Historical Romance
My rating: 4/5

"Men are sheep. Where one goes, the rest will soon follow."
Simon Basset sang Duke of Hastings yang baru, akhirnya kembali ke London setelah berkelana ke berbagai negara. Dia kembali tak lama setelah ayahnya meninggal dan bertepatan dengan London Season (musim perjodohan di London). Simon tidak berencana kembali ke 'society' secara resmi karena dia sudah bersumpah bahwa darah Basset akan mati dengan dirinya, yang artinya dia berencana tidak akan menikah dan memiliki keturunan.

Simon terkenal sebagai 'rake' beserta sahabatnya Anthony Bridgerton. (Istilah rake sekarang lebih mirip ke istilah playboy. Pria yang suka main perempuan--pada masa itu digambarkan 'sering menyimpan Mistress). Dia hampir saja merayu gadis yang tidak sengaja ditemuinya, sebelum menahan diri karena tahu bahwa gadis itu merupakan adik perempuan Anthony yang bernama Daphne Bridgerton (ini sih karena Bro Code terkenal yang menyatakan Thou Shalt Not Lust After Thy Friend's Sister. Saya agak heran juga, apakah Bro Code ini memang sudah ada dari tahun 1813? Entahlah...)

Singkat kata, mereka (Simon dan Daphne) merasa nyaman bercanda dan berbincang-bincang sejak pandangan pertama. Ditambah lagi posisi Simon yang sedang menghindari para wanita, dan Daphne yang sedang mencari calon suami namun tidak bayak yang datang melamar, membuat mereka memutuskan untuk berkonspirasi: Simon berpura-pura mendekati Dahne selama musim ini karena alasan pribadi masing-masing. Tapi tindakan ini justru membuat Anthony marah besar. Ditambah lagi ketertarikan Simon dan Daphne terhadap satu sama lain yang malah membuat keadaan makin runyam.

Ini pertama kalinya saya membaca genre Historical Romance, dan karena pertama kali, saya mencoba mengikuti rekomendasi teman-teman karena untuk urusan HisRom, seri ini jagoannya. Saya memang merasa sangat terhibur saat membaca ini. Beberapa kali saya bahkan sampai terpingkal-pingkal karenanya. Memang sih, ada beberapa hal yang lumayan cheesy dan gampang ditebak, seperti misalnya reaksi Anthony saat mengetahui hubungan Daphne-Simon, juga reaksi Daphne saat menghadapi pertikaian Anthony-Simon yang terasa sangat antiklimaks, juga reaksi Simon terhadap masa lalunya yang, meskipun mudah diprediksi, terasa sangat lebay.

Lepas dari itu, karena buku ini menurut saya cukup "lumayan" sebagai buku HisRom pertama yang saya baca, saya beri bintang 3,5. Dibulatkan jadi 4 karena cukup menghibur dengan humor di sana sini. Terlebih karena saya mendapat kesan bahwa novel ini adalah novel yang akan saya baca jika saya sedang "butuh sesuatu yang ringan". Novel yang bisa "membuatmu merasa nyaman" karena konfliknya yaaa standar lah, begitu-begitu saja, jadi tidak membuat yang baca ikut tegang. Semacam buku relaksasi.

Untuk masalah karakter, karakter utama pria di sini sebenarnya sangat "adorable" dan bisa bikin "aaaaawwww" hehehee... rasanya pengen deh ngelus-ngelus rambut Simon dengan sayang, apalagi background masa lalunya itu, membuat tokoh ini lebih berkarakter (meski sedikit lebay). Nah, tokoh Anthony juga lumayan oke sih karena sosok big brother sejati gitu selalu membuat saya meleleh, ngahahaaa...iya alasan say ini nggak objektif ;p
Tapi tapi tapii.... si Daphne ini, meskipun digambarkan sebagai gadis tangguh, namun kok kesannya tangguh-nya nanggung ya.... sepertinya si penulis ingin menggambarkan ketangguhan gadis ini namun eksekusinya kurang sempurna, jadilah menurut saya tokoh Daphne ini "tidak menarik".

Eniwei, buku ini berhasil mengubah pendapat saya yang tadinya menyatakan bahwa "ah, buku hisrom pasti membosankan" menjadi "ooh, bisa juga hisrom lucu. Lumayan juga nih buat selingan kalo lagi bosen yang tegang2"... wahahaa meskipun, kalau harus baca buku model begini terus-terusan ya saya bisa mati bosan sih, heheee....

So, yang memang suka hisrom atau pengen baca hisrom, buku ini rekomended kok, asal nggak keberatan sama sedikit adegan panas di bagian sepertiga terakhir cerita saja, heheee... Dan tambahan lagi, novel ini juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan cover seperti ini:


See you in the next post ^_^

Sabtu, 18 Juni 2016

Half Upon A Time by James Riley [review]

Title: Half Upon A Time (#1)
Author: James Riley
385 pages
First published: 2010
Genre: Fantasy, Children Literature
Language: English
My rating: 4/5

Jack: Do you have to be a prince to wake a sleeping princess?
Granfather: Who knows? Smooch her, see what happens.

The funny thing in Jack's family is that every newborn son in the family would be named "Jack". Jack (the Thirteenth) lived in a land where fairy tales happened. He was a 14 years-old boy who had a bad mark in a test of 'saving-a-princess' at school. He couldn't stand royalties. He didn't believe that there is a living breathing princess in this land. And he hated his father, an infamous criminal who went missing years ago for stealing from giants by climbing magical beanstalks. That's whay he lived with his grandfather now. And his grandfather loved adventures, unlike Jack. But he was going on an adventure anyway.

It happened so suddenly when a young girl with blond and blue hair fell from a portal in the sky, right in front of Jack's outstreched arms. The girl was wearing a T-Shirt with the statement "Punk Princess" on the front. Of course Jack thought she was a princess from Punk.

May denied that she was a princess. She was a normal girl from the real world. When the huntsman came to her house and kidnap both her and her grandmother, she was panicked and managed to escape. She was transported through a portal and landed in front of Jack. Of course she was surprised to find out that the fairy tales are real and apparently...her regal and beautiful grandmother was Snow White! The Snow White!!!

May: No, because my grandmother isn't a character in a fairy tale.
Jack: Fairies don't have tails.

"If your grandmother is Snow White, then you really are a princess." -- Jack
After a funny problem where every boys in the village tried to marry May the Princess, Jack and May went on a daring adventure to rescue Snow White from the Wicked Queen. Easy, right? Of course not. They were kidnapped by the ugly and cruel witch who lived in a candy house, got eaten by a giant, met the Wolf King, the Red Hood, a fairy godmother....and a dragon!

May: You're saying witches actually ride around on brooms? Wow, how old-school.
Jack: It's tradition.

Along the way, they were accompaied by a real-living-breathing prince named Phillip, who was devastatingly handsome, and dressed in golden regalia. The three of them went through a very magical journey to the castle of the Wicked Witch.

"Because it doesn't matter if you're in a fairy tale or here in real life, doing the right thing still counts for something." -- Jack
I love this book. It is a funny twist of fairy tales. This is a kind of children book that can make you feel good after reading it. A nice companion before going to bed, heheheee.... When I was reading it, I felt like a child again, enjoying a magical story...such a nice feeling :)

I love the character Jack. He is what I think a great main character should be like. A very young yet wise boy (but not too wise. He still had the air of innocence around him). He was adorably naive, but he was brave and kind. His character portrays how a young knight shoud be, eventhough he was a child of a criminal and not a royal-born.

I loved May in the beginning of the story, She was unlike typical princess. But along the way she behaved like a spoiled child and did many things without thinking. And did you really have to take away her sarcasm? It's what made her character unique. But when the sarcasm was "stolen" I was like "Whaaaaat.... now she is a typical princess. damn!". Put that together with Phillip, the "typical prince" character, and you get a cliche :(

I hope May and Phillip characters would be different in the sequel, anyway.

Overall, this is such a good book to read when you are having a moody-kind-of-feeling-to-read-anything. Because if you're having a reading slump, a nice children book is a good way to get rid of it :)

See you in the next post ^_^

Sabtu, 11 Juni 2016

The Lottery by Shirley Jackson [review]

Title: The Lottery
Author: Shirley Jackson
30 pages, e-book version in English
First published: 1990
Genre: Thriller
My rating: 3/5

Sekelompok orang di suatu kota berkumpul untuk menarik lotere tahunan. Wajar kan? Toh lotere ini diadakan setiap tahun. Semua orang akan menarik lotere dari dalam sebuah kotak hitam tua yang sepertinya sudah saatnya diperbarui karena cat hitamnya bahkan sudah mengelupas di mana-mana dan tidak berwarna hitam lagi.

Penarikan lotere dilakukan dengan menarik kertas dari dalam kotak hitam tersebut untuk mewakili keluarga masing-masing, dengan kepala keluarga sebagai yang bertanggung jawab menariknya. Lalu sang keluarga terpilih akan menarik ronde penarikan lotere kedua untuk mengambil keputusan akhir. Untuk apa? Itulah pertanyaan besarnya yang akan terjawab setelah kau selesai membaca kisah ini.

Sama seperti cerita Shirley Jackson sebelumnya yang saya baca, cerita ini juga berhasil memukau saya dengan kegilaan dan ketegangannya yang tidak jelas, heheheee.... sepertinya ini adalah ciri khas si penulis, memikat pembaca dengan misteri namun misterinya bahkan tidak dijelaskan secara gambalang. Segalanya dalam cerita ini tersirat dalam narasi dan dialog para tokohnya.

Setelah membaca dua cerita Shirley Jackson, saya menangkap ada kesamaan tema dalam keduanya. Kedua kisah tersebut sama-sama menggambarkan "masyarakat" dan "perubahan yang sulit diterima". Meski penceritaannya didramatisir dengan sangat ajaib, namun sepertinya Shirley mencoba melemparkan kritik tajam terhadap masyarakat pada umumnya. Yeah, mungkin lho...ini sih cua analisis asal-asalan saya, heheheee....

Eniwei, saya cukup menikmati membaca kisah-kisah yang ditulis Shirley Jakson. Dan masih punya dua timbunan karya beliau juga, asyiiiik.....siap-siap menggila dan merinding kejang-kejang lagi ahhhh baca cerita selanjutnya ;p

See you in the next post ^_^

Sabtu, 04 Juni 2016

The Summer People by Shirley Jackson [review]

Title: The Summer People
Author: Shirley Jackson
32 pages, e-book version in English
First published: 1970
Genre: Thriller
My rating: 3/5

Saat itu saya sedang bingung mau baca apa lagi karena entah kenapa saya tiba-tiba merasa bosan dengan semua currently-reading saya yang memang mangkrak lama sekali, heheeee.... Lalu karena saya curhat mengenai masalah ini di grup BBI Joglosemar, buban alias Mbak Alvina si pemilik blog Mari Ngomongin Buku menawarkan untuk mengirimi saya timbunan bacaan baru, yang tentu saja saya iyakan dengan bersemangat. Yeah, sebenarnya saya tahu sih seleranya pada novel itu sedikit edan, wkwkwk...tapi semangat saja baca buku ini karena halamannya yang sedikit lumayan banget buat menambah-nambah Reading Challenge, ngahahahaaaa....

Keluarga Allison memiliki sebuah Summer Cottage yang selalu mereka datangi setiap musim panas. Suami istri Allison yang sudah pensiun pun kali ini datang berlibur di cottage mereka, dan kerena kebetulan mereka berdua sudah sama-sama pensiun, mereka memutuskan untuk memperpanjang liburan mereka di Summer Cottage tersebut.

Hari Buruh pun tiba, tanda berakhirnya musim panas. Biasanya mereka sesegera mungkin kembali ke New York. Namun kali ini, mereka tetap berada di sini selewat Hari Buruh.

Anehnya, masyarakat di desa tersebut terheren-heran dan seaakan tidak menyambut keputusan mereka itu dengan gembira. Orang-orang mulai bertingkah aneh, mulai dari penjual kerosene keliling sampai si pengantar telur. Bahkan anak mereka pun bertingkah aneh dalam surat yang terlambat ditulisnya. Apa sebenarnya yang terjadi?

Ini pertama kalinya saya membaca tulisan Shirley Jackson, dan meski cerita ini sangat pendek namun berhasil membuat saya penasaran dan merinding-merinding sampai akhir. Bagian endingnya terutama, berhasil membuat saya melongo dengan suksesnya.

Tak ada yang "pasti" dalam cerita ini, namun "ketidakpastian demi ketidakpastian" yang pelan-pelan terkuak seiring jalannya cerita benar-benar membuat saya berpikir yang nggak-nggak, hahahaa....

Oh iya, karena ini adalah ebook berbahasa Inggris, dan cukup singkat, rasanya ebook ini cocok untuk yang mau berlatih membaca novel dalam bahasa Inggris lho... juga cocok banget bagi yang suka cerita "gila" dan "menegangkan" yang meski nggak absurd-absurd banget, yah... sedikit agak ajaib hahahaa...

See you in the next post ^_^

Sabtu, 28 Mei 2016

Fairytale Beginnings by Holly Martin [review]

Title: Fairytale Beginnings
Author: Holly Martin
299 pages
Language: English
Genre: Romance
First published: 2015
My rating: 3/5

Milly Rose was very passionate about history. She was crazy about historical buildings...especially castles because they remind her of fairytales. Her undying love for anything Disney made her into a hopeless romantic twenty-something-years-old girl who saw the world from a pair of rose-tinted-spectacles. Eventhough she believed in a happy ever after, she also believed that it was not meant for her: she had too many bad relationships in the past to prove that.

Lord Cameron Heartstone inherited a castle full of staff and a debt from his father who had been missing from Cameron's life since he was 5 years old. He couldn't pay the debt, even with his royalty from writing successful series, so he had no choice but to fire the entire staff, making the villagers hated him. He was desperate to find solution for his financial problem, and offered his castle to Castle Heritage, a company dealing with historical buildings.

"What if he is your happy ever after? Isn't it worth taking a risk on?"
It started when Milly accepted the job from her company to test a castle named Clover Castle in a remote village. Her car broke down on the way, and she had to walk the rest of the way to the castle with blue roofs and full of turrets. It looked just like a disney castle from Cinderella, and she fell in love with the building instantly.

The Lord of the castle, on the other hand, was unlike Milly's expectations. He was young, big, handsome, and smoking hot. She couldn't fight off the attraction that was blossoming in her mind.

It started innocently enough, with Milly testing the dust and the wall here and there, but of course everything got a bit steamy when she accidentally fell into a hole on the ground just like Alice in Wonderland. After being rescued by Cameron, and accidentally seeing each other naked (ups), things were getting...*ehem*...better between them.

The good thing about this novel is that it presented a little bit adventure here and there and also a bit of mystery here and there. What with the old castle, the history, the storybook-style village, creepy villagers, and odd traditions, And don't forget, the Gray Lady, the ghost that haunted the dungeon of Clover Castle. She was rumored to be protecting the Heartstone family line and the treasure hidden by one of Cameron's ancestors. And what's with the Hearstone Family Curse? And the thousand years of searching true love to break the curse?

I loved the whole fairytale-ish parts of the story, it gives a feeling of reading a nice fairytale when I was a kid. I loved the first half of the book since I don't know what I expected from the story. But the last half of the story seemed so cliche with the appearance of Olivia the PA. I mean, she was a very typical antagonist girl. Can it be anymore obvious? Personally, Olivia's appearance kind of ruined the whole fairytale atmosphere there in the story and turning it into typical contemporary romance, which is a little meh to be honest.

But still, I really enjoyed reading this immensely. Especially the funny parts that cracked me up everytime. And mind you, future readers, that it is also a little bit *ehem* on the adult side, eventhough the sex scenes are pretty mild, actually. By the way, this is my first Holly Martin book, and I think I quite like her writting style.

Enjoy.
See you in the next post ^_^

Sabtu, 21 Mei 2016

A Lady's Pleasure by Renee Bernard [review]

Title: A Lady's Pleasure (Mistress Trilogy #1)
Author: Renee Bernard
357 pages, ebook version
First publised: 2006
Genre: Erotic Romance
My rating: 2/5

Merriam Everett merupakan seorang janda muda yang pemalu. Dia sangat tidak nyaman menjadi pusat perhatian. Maka dari itu sepanjang hidupnya, dia selalu membaur di bagian belakang kerumunan, mencoba untuk tidak nampak dalam masyarakat. Orang-orang bahkan mengatakan dia tidak menarik. Namun ketika Earl of Westleigh, Julian Clay yang maha tampan mengatakan bahwa dia hanyalah "janda berwajah pucat yang tidak menarik", entah kenapa timbul keingina dalam diri Merriam untuk membuktikan bahwa sekali saja, dia bisa menjadi menarik dan diinginkan. Rencananya sederhana, dia datang ke sebuah pesta topeng dengan pakaian bak seorang perayu ulung lengkap dengan cat rambut dua warna dan bahkan tanpa pakaian dalam. Merriam akan merayu Julian Clay, membuatnya menginginkan si janda tidak menarik ini, lalu meninggalkannya begitu saja, membuat pria tampan itu merasa tidak diinginkan. What a revenge!

Sayangnya Merriam tidak memperhitungkan bahwa rayuannya bisa salah sasaran di pesta topeng tersebut. Apalagi rencananya untuk meninggalkan si target sebelum si target puas justru gagal total. Merriam justru mendapati dirinya "merasa sangat diinginkan" oleh seorang pria, dan mendapatkan pleasure yang selama ini hanya bisa dibayangkannya. Tentu Merriam syok bukan kepalang saat bertemu dengan Julian Clay keesokan harinya dan mendapati dia bukanlah sosok yang sama dengan sosok yang berhubungan intim dengannya di pesta itu. Lalu siapa sebenarnya sosok itu? Sosok misterius berpakaian Merlin?

Drake Sotherton sang Duke of Sussex baru saja pulang ke Inggris setelah delapan tahun meninggalkan negerinya. Kepergiannya sering dikait-kaitkan dengan kematian sang istri yang menurut rumor dibunuh sendiri oleh tangannya, membuatnya mendapat julukan The Deadly Duke. Dia kembali untuk membalaskan dendam akan kematian istrina terhadap musuh bebuyutannya, Julian Clay, karena menurutya, Julianlah sebenarnya si pembunuh istrinya itu.

Ketika mengetahui bahwa wanita yang merayu Drake di pesta topeng tersebut adalah Mrs. Everett yang pendiam, Drake curiga bahwa ini ada hubungannya dengan Julian Clay. Drake yakin sekali Merriam dan Julian bersekongkol untuk menghancurkannya. Maka Drake membuat rencana brilian, merebut Merriam dari Julian dengan cara menawari Merriam menjadi Mistress-nya. Merriam yang diam-diam ingin merasakan kembali pleasure yang dialaminya di pesta topeng, tentu setuju. She would have a decadent season, he said. Kecurigaan Drake diperkuat setelah melihat ketertarikan Julian yang secara terbuka flirting2 kepada Merriam.

Saya membaca ini karena kebetulan, hehehee.... Jadi saat itu, pada akhir bulan April 2016, WA Chat Grup BBI Joglosemar sedang ramai membicarakan trilogy ini. Ada beberapa teman yang menyayangkan kenapa lanjutan buku ini tidak ikut diterjemahkan (buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gagas Media beberapa tahun yang lalu, dengan cover elegan bergambar lilin warna ungu dan tulisan judul warna emas). Mereka mengklaim bahwa mereka penasaran dengan apa yang erjadi di buku kedua dan ketiga. Nah, mulailah muncul usulan kenapa tidak membaca sequel berbahasa Inggrisnya langsung saja? Dari sinilah muncul ketertarikan untuk mengadakan sesi #BacaBarengJoglosemar dengan tema #JoglosemarKipasKipas.
Cover versi Indonesia. Inilah yang menyebabkan buku ini kami juluki "Buku Lilin Ungu"
Jujur saja, saat membaca ini, saya agak terkaget-kaget. Bagaimana tidak, ternyata di bab 1 saja buku ini sudah menyuguhkan aksi panas dengan sangat mendetail. Saya yang masih innocent  agak kaget, heheheee....yah, maklum saja pengalaman saya membaca genre erotika begini masih sangat minim, jadi ya agak-agak merasa tidak nyaman bagaimanaaaaa gitu. Mulai bab 2, justru ceritanya adem ayem, tidak ada yang panas sama sekali. Nah, entah karena berkurangnya suhu atau karena saya syok, saya justru berhenti membaca buku ini sampai hampir 3 mingguan. Saya akhirnya menguatkan jiwa dan raga dan memutuskan untuk meneruskan membaca sampai akhir. Horeeee.... berhasiiillll.... *masukkin kepala ke freezer* #MandiAirEs

Kerana saya tidak banyak pengalaman dengan genre macam ini, pendapat saya mungkin sedikit bias. Ah, tapi nggak papa, berpendapat itu bebas kok, hehee... Menurut saya, buku ini plotnya sangat biasa, tidak terlalu menarik, dan terkesan setegah matang. Tapi memang sih kata orang buku seperti ini memang tidak menawarkan plot, tapi menawarkan detail adegan erotis, jadi whatever lah...hahahaaa....

Dalam karakternya sendiri, karakter yang menurut saya terbangun paling bagus adalah karakter Merriam Everett. Mungkin karena dia tokoh utama, atau mungkin karena dia satu-satunya tokoh sentral wanita di novel ini, saya juga tidak tahu. Namun deskripsi tentang Merriam menurut saya sudah cukup membuat pembaca serasa seperti menyaksikan Merriam dalam dunia nyata. Lain halnya dengan dua tokoh sentral pria di sini. Drake dan Julian menurut saya sama-sama membingungkan jika harus dideskripsikan, karena deskripsi tentang sifat mereka terasa kurang, dan menyebabkan penokohan mereka tidak terbentuk sempurna.

Novel ini lebih menekankan ke dialog daripada narasi dalam penggambaran adegan. Namun entah kenapa dialog-dialognya terasa "kaku", membuat saya membayangkan pentas drama anak SMA, bukan film historical romance yang biasa saya tonton. Dialog kaku ini sayangnya juga berakibat agak fatal ke chemistry antar karakter. Rasanya ketiga karakter seolah tidak berinteraksi dengan baik, baik itu persaingan antar prianya, maupun hubungan cinta yang tiba-tiba tumbuh di antara dua sejoli di sini.

Singkat kata, saya tidak terlalu suka sih sama novel ini, tapi jika kalian memang sedang sengaja mencari bacaan erotis yang bisa bikin gerah, silahkan coba baca buku ini...banyak sekali lho adegan-adegan yang bakal membuat kalian membutuhkan kipas angin raksasa, hehehee...

See you in the next post ^_^

Sabtu, 14 Mei 2016

Reading Slump: Kenapa dan Cara Menghadapinya [a bookish talk]

Halloooo.... lagi teman-teman semuanya.... *kedip-kedip centil*
Kita ketemu lagi nih di curhatan nggak penting obrolan saya tentang buku. Kali ini saya akan membahas sesuatu yang dianggap "mimpi buruk" bagi para pembaca buku yang biasa disebut "reading slump" atau "reader's block".


Apa itu reading slump?

Pernah nggak sih kalian tiba-tiba saja tidak ingin membaca buku sama sekali? Bukannya memang tidak mau membaca buku, tapi jika mencoba membaca suatu buku, entah sebagus apapun buku itu, akan jadi buku paling membosankan di dunia. Dan ketika mencoba membaca buku lainnya, justru sama saja membosankannya. Kalau sudah begitu, paling-paling baru satu halaman, biasanya saya sudah ngantuk atau sama sekali nggak paham apa yang barusan saya baca. Menyebalkan bukan? Biasanya setelah itu saya tiba-tiba merasa sedih karena ingin membaca tapi tidak mood membaca, hahahaa....aneh memang. Dan jujur saja, saya termasuk orang yang sering sekali mengalami keadaan reading slump ini, jadi bisa dibilang saya ini seorang moody reader: membaca jika mood saja, dan genre yang dibaca pun juga tergantung mood, heheheee...

Kenapa sih bisa terjadi reading slump?

Menurut saya, pemicu reading slump bagi setiap orang berbeda-beda. Kembali lagi karena sifat dan karakteristik setiap orang yang berbeda, juga kebiasaan membaca dan genre kesukaan yang berbeda. Wajar saja jika penyebabnyapun tidak bisa digeneralisasikan.

Nah, bagi saya sendiri, reading slump yang terjadi pada saya bisa karena berbagai hal, misalnya:
  • Susah move on. Ini biasa terjadi saat saya baru selesai membaca buku yang menurut saya bguuussssss bangeeeeetttt. Saking bagusnya itu buku, kesan yang ditinggalkan di pikiran saya sangatlah mendalam. Biasnya saya sampai terkagum-kagum dan memujinya setinggi langit. Lalu cerita dari buku itu selalu berputar-putar di kepala saya bagaikan siaran ulang, bisa juga sampai terbawa mimpi. Nah, ini biasanya membuat saya enggan membaca buku lainnya karena saya masih kepikiran dengan buku yang terakhir saya baca.
  • Beberapa buku terakhir yang dibaca tidak ada yang berkesan. Membaca banyak buku, tapi tidak ada yang bagus itu nyebeliiiin banget, bikin stress dan bikin kapok. Sampai rasanya skeptis untuk mencoba memaca buku baru, dan entah mengapa, ini justru menjebak saya masuk ke lingkaran setan reading slump.
  • Banyak pikiran. Keadaan stress, temasuk memikirkan banyaknya hutang yang harus dilunasi (*uhuk* bukan curhat *uhuk*) biasanya juga membuat kegiatn membaca yang biasanya menyenangkan menjadi superrr duperrrr membosankan.
  • Sedang fokus untuk melakukan marathon serial TV. Saya sukaaaaa sekali nonton serial TV, terutama serial barat tentang superhero, detektif, thriller, atau kadang juga nonton k-drama dan dorama kalau habis dapet stok film dari teman *lirik mbak Cindy*. Sayangnya hobi saya yang satu ini justru mengurangi jam membaca saya secara drastis, hahahaaaa...
  • Chat di grup WA lebih seru dari bacaan yang saya baca. Nah, penyebab kali ini lumayan ironis sebenarnya. Kenapa? Soalnya grup WA paling aktif di smartphone saya justru grup yang isinya reader dan book-blogger, tapi entah kenapa kalau obrolannya lagi seru nih...misalnya WA BBI Joglosemar lagi ngobrolin KisMis, dan itu lebih menarik dari buku yang saya baca, wah lha iniii...celaka tiga-belas iniii....bacaan saya biasanya langsung tercecer, hehehee...
 Bagaimana cara memerangi reading slump?

Menderita reading slump bukan berarti the end of the world, apalagi menyerah pada si reading slump yang nakal ini. Meskipun mungkin cara-cara yang saya pakai tidak bisa diterapkan bagi semua orang, tapi mungkin bisa memberi ide untuk mengatasi reding slump kalian :)
Yuk langsung saja simak...
  1. Jalan-jalan ke toko buku. Ini sebenarnya alibi untuk melihat buku-buku baru dan beli buku baru sih, hahahaaa.... Tapi jalan-jalan ke toko buku terbukti lumayan ampuh buat mengatasi reading slump saya, karena pada saat jalan-jalan itu, saya melihat pemandangan yang indah, sexy dan mempesona: deretan buku berbagai warna dan ukuran tertata dengan cantiknya di jejeran rak-rak yang seolah tak ada habisnya *sigh*
  2. Blogwalking. Cara ini ampuh juga karena dengan melihat tulisan teman-teman tentang buku, dan membaca antusiasme mereka saat membaca buku tertentu, biasanya bisa membuat saya ikut tertarik membaca buku tertentu.
  3. Menata ulang rak buku. Nah, ini cara yang agak melelahkan karena biasanya pasti selalu diiringi dengan bersih-bersih debu di rak, heheeee.... Tapi dngan cara mengambil buku-buku dari rak, mengusapnya dengan tangan, dan menatanya kembali, bisa membuat rasa ingin membaca timbul lagi lhooo....
  4. Nonton chanel para booktuber. Antusiasme para booktuber saat membicarakan buku bisa menjadi pancingan yang pas dan membat saya semangat membaca lagi.
  5. Coba baca buku dengan genre yang tidak biasa dibaca. Hal ini tujuannya untuk mencari sensasi dan situasi yang baru. Kalau tidak, cobalah memilih genre yang "ringan" bagi kalian, yang saat membaca kalian tidak membutuhkan konsentrasi, serasa makan snack begitu.... Biasanya saya melarikan diri ke komik kalau sedang tidak mood membaca buku apapun. 
  6. Membaca kembali buku-buku all-time-favorite. Biasanya membaca kembali buku favorit juga memicu kenangan indah saat memaca buku itu dan mengingatkan kembali kenapa buku tersebut mejadi favorit saya, juga mengingatkan kembali kenapa saya suka membaca.
  7. Nah, jika cara-cara di atas masih belum berhasil juga, saya biasanya menunggu aja dengan santai sampai reading slump itu pergi sendiri dari tubuh saya, hahahaaa.... Biasanya saya kalau sudah begini nih, saya puas-puasin nonton serial TV marathon yang panjang sampai sepuluh season...nah, biasanya baru dua season saya sudah bosan dan cari bacaan baru sih, hehehee... works everytime.
Sekian ocehan saya entang reading slump. Semoga bermanfaat, dan jika kalian punya cara-cara unik lainnya untuk mengatasi reading slump, please share on the comment below :) Senang sekali jika ada banyak masukan untuk mengatasi rading slump :)

See you in the next post ^_^

Sabtu, 07 Mei 2016

Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 by Pidi Baiq [review]

Paperback, 332 halaman
Title: Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990
Author: Pidi Baiq
First published: 2014
Publisher: Pastel Books (Mizan Grup)
Language: Indonesian
My rating: 3/5

Tanggal 10 April 2016 kemarin saya dan beberapa teman dari Goodreads Semarang mengadakan Kopdar di Pameran Buku Murah Semarang yang terletak di Gedung Wanita. Bagi yang belum tahu, Semarang Book Fair ini diadakan di Gedung Wanita selama kira-kira seminggu, dua kali setahun, setiap bulan April dan Oktober. Jadi buat yang pengen mborong buku di acara ini dari luar kota, siap-siaplah datang pada bulan-bulan itu. Eniwei, di acara kopdar itu saya mendapat pinjaman buku ini, yang ternyata adalah milik Dina (anggota GRI Semarang dan BBI juga). Usut punya usut, buku ini sudah muter ke hampir semua anak Semarang, dipinjam sana-sini, heheheee... padahal si Dina sendiri sudah pindah dari Semarang ;p

Saya tertarik baca buku ini karena ada angka tahun 1990. Tau sendiri kan bahwa era 90-an dinobatkan sebagai era terfavorit sepanjang sejarah bagi yang mengalami masa kecil atau masa remaja di era ini. Nah, kebetulan di postingan Valentine kemarin, mas Tezar juga merekomendasikan buku ini sebagai romance favorit, jadi bolehlah...coba baca...

Premis yang disajikan buku ini lumayan standar sebenarnya: kisah cewek dan cowok SMA dari mulai kenalan sampai jadian. Sudah. Ya sudah itu saja sebenarnya inti buku ini sih. Serius, cuma itu. Lalu apa sih yang unik sampai sepertinya banyak sekali yang memuji-muji buku ini (setelah melihat bintang bertaburan di Goodreads). Menurut saya pribadi, kelebihan buku ini ada di 3 hal:
  1. Mengangkat tema dan setting tahun 90-an yang pasti, pasti PASTI membuat banyak orang tertarik dan penasaran. Pangsa pasar buku ini jelaslah generasi 90-an yang sedang ingin bernostalgia. Harus diakui mencantumkan angka tahun di judul merupakan teknik pemasaran dan promosi yang luar biasa berhasil.
  2. Bahasanya yang ringan dan menghibur serta tidak menggurui (kecuali beberapa bagian saat si Milea berusaha menerangkan perasaannya sampai sedetail-detailnya dengan segala perumpamaan yang tidak perlu, nah ini baru menggurui...sebel banget kalau sudah nemu bagian yang beginian, untungnya nggak terlalu banyak) di sebagian besar isi buku. Bahasa yang digunakan juga sangat santai. Malah terlalu santai. Anehnya hal ini menjadi sisi unik tersendiri bagi buku ini.
  3. Karakter Dilan yang membuat hampir semua cewek ngiler dan membuat hampir semua cowok ingin menirunya.
Seharusnya buku ini diberi judul "cara-cara pantang gagal untuk mendapatkan cewek cantik", heheheheeee...... Serius ya, baca buku ini rasanya seperti membaca panduan bagi remaja cowok untuk menggaet hati remaja cewek. Bukan berarti itu hal yang jelek sih, bahkan menurut saya bagus. Bagus banget malah bisa memberikan sesuatu yang unik di pasaran novel lokal dengan tema romance tapi tidak lazim.

Buku ini seolah full menceritakan tentang seorang sosok cowok yang tertera dalam judulnya: DILAN.  Dia digambarkan suka seenaknya sendiri, selengehan, lucu, tampan, tegas namun baik hati, memiliki insting yang tajam, anggota genk motor (ini sepertinya disengaja untuk menggambarkan dan menonjolkan ke-cool-an tokoh Dilan ini) namun selalu ranking 1 di kelasnya, dan yang paling utama adalah dia selalu bisa membuat seorang wanita merasa istimewa. Nahhh, siapa coba yang nggak mau merasa diistimewakan?

Pertanyaannya adalah, apakah saya suka dengan tokoh Dilan ini? Jawabannya tentu iya, saya suka dengan tokoh Dilan ini.

Tapi....

Saya juga benci dengan tokoh Dilan ini. Lho kenapa? Karena tokoh ini terlalu dibuat too good to be true sampai rasanya seperti tidak nyata. Menurut saya, tokoh paling sempurna dalam novel adalah ketika dia terasa nyata, baik kelebihan dan kekurangannya. Ketika suatu tokoh terlalu datar, atau terlalu jahat, atau terlalu sempurna....nah, inilah ketika ilusi di sebuah novel justru hancur berantakan dan membuat pembaca mulai mengernyitkan dahi (meski sebagian pembaca juga ada yang sangat menyukai hal ini, lho. Kan setiap orang punya pendapat dan persepsi berbeda).

Nah, kekurangan buku ini sebenarnya cuma satu lho, yaitu tokoh-tokohnya terasa terlalu fiktif, terlalu tidak nyata atau terlalu rata. Misalnya, Dilan yang digambarkan terlalu sempurna, Milea yang digambarkan tidak istimewa, tidak ada kelebihannya kecuali cuma cantik saja, Kang Adi yang digambarkan terlalu klise sebagai saingan cinta Dilan, bahkan tokoh Bunda yang menurut saya agak aneh karena...well, let's face it, itu tahun 1990 lho... sedangkan saya yang mengalami masa remaja tahun 2000-an saja masih banyak menemui teman-teman yang pacaran backstreet gara-gara orangtua tidak mengijinkan pacaran dan sebagainya lah. Nah ini...si tokoh Bunda, juga Ibunya Milea, juga bapak-bapak mereka yang tentara lhoo, tentaraaa.... kok kesannya laid back banget masalah anaknya pacaran gitu. Padahal sejauh pengamatan saya, teman-teman yang memiliki ayah dari latar belakang militer benyak yang mengaku ayah mereka sangat tegas, apalagi ini masalah pacaran-pacaran jaman SMA, di tahun 90 pulaaa... (kalau jaman sekarang sih saya tidak heran, memang lebih banyak orangtua, dari segala kalangan lebih bersikap laid back dan terbuka pada anak-anak mereka). Ya, memang saya tahu bahwa tidak semuanya seperti itu, dan selalu ada pengecualian, tapi ada kan yang namanya balance of probability? Dan kemungkinan akan bertemunya orang-orang dengan karakteristik seperti ini dan menjalin satu kesatuan kisah....hmmm....terlalu kebetulan. Tapi, ah, nggak papa kok, namanya juga novel. Dalam sebuah cerita, berbagai macam kebetulan bisa dimaafkan kok for the sake of the plot, wkwkwk...

Oh iya, ada satu hal yang saya salut dari penulis. Pidi Baiq ini cowok kan ya? Mas Pidi meskipun cowok tapi bisa membuat kisah dari POV seorang cewek remaja, itu bagus lhooo.... POV dari tokoh dengan gender berbeda dari penulis itu sulit, lebih sulit lagi jika karakternya adalah remaja yang...yah, tahu sendiri, terkadang seperti campuran bahan kimia yang tidak stabil, gampang meledak. Thumbs up bagian ini. Meski saran saja, mungkin lain kalikarakternya bisa diperkuat, tidak hanya ditonjolkan "cuma cantik" saja. Karena terus terang ketika menjabarkan karakteristik Milea, saya hanya bisa bilang dia digambarkan sebagai tokoh yang cantik. Sudah. Apakah dia pintar? Saya tidak tahu. Apakah dia egois? Saya juga tidak tahu. Intinya saya tidak tahu-menahu bagaimana menjabarkan tokoh ini dalam kata sifat. Di samping itu, karakter Dilan dibuat agar dia "kebanjiran" kata sifat untuk menggambarkan karakteristiknya, karena sepertinya dia serba bisa dan serba segalanya. Sungguh dua karakter utama yang sangat bertolak belakang deskripsinya dalam sebuah novel.

Dan bagian Dilan ternyata langganan majalah Tempo, seperti bapak-bapak itu...sumpah bikin ngakak, karena adek saya juga cowok yang dari remaja bacaannya majalah intisari....kayak bapak-bapak juga, hahahaaa.... Duh, semoga si adek nggak baca ini, wakakaka....

Eniwei, terlepas dari semua kelebihan dan kekurangan novel ini, saya sangat terhibur lho saat membacanya.... I read this in one sitting, the same day I got this book. Dan buku ini menyelamatkan saya dari reading slump yang sedang saya alami juga saat itu. Horeeeeee..... Sukses juga buat Mas Pidi karena berhasil menulis novel romance dengan rasa yang unik dan berani berbeda. Semoga karya kedepannya semakin bagus.

See you in the next post ^_^


Jumat, 29 April 2016

The Hundred Dresses by Eleanor Estes [review]

Title: The Hundred Dresses
Author: Eleanor Estes
Illustrated by: Louis Slobodkin
Language: English, 80 pages
First published: 1944
Genre: Classic, Children Literature
Awards: Newbery Honor 1945
My rating 4/5

Wanda Petronski adalah gadis kecil dari Polandia yang bersekolah di Connecticut, Amerika. Dia selalu memakai pakaian yang sama setiap kali pergi ke sekolah; gaun warna biru yang warnanya sudah pudar, selalu bersih, namun tidak disetrika dengan rapi. Wanda yang dianggap "berbeda" karena memiliki nama yang keluarga yang tidak lazim, selalu menyendiri, dan memakai pakaian yang sama, akhirnya sering "digoda" oleh teman-temannya. Setiap hari, yang terjadi selalu sama. Peggy, teman sekelas Wanda akan bertanya "Berapa pakaian yang kau punya di rumah?" dan setiap kali Wanda akan menjawab dengan kalimat yang sama "One hundred dresses. All lined up in the closet".

Uniknya, buku ini diceritakan dari sudut pandang sahabat Peggy yang bernama Maddie. Setiap kali Peggy "menggoda" Wanda dengan bertanya jumlah bajunya, Maddie selalu ada di sana, tidak ikut "menggoda" Wanda, namun tidak juga membela Wanda meski Maddie merasa apa yang dilakukan salah. Dan tentu semua orang, termasuk Maddie dan Peggy, jadi bertanya-taya apa yang terjadi pada Wanda ketika tiba-tiba gadis kecil itu tidak muncul di sekolah. Apalagi setelah Wanda memenangkan kontes menggambar!

Novel ini sangat sederhana, namun menurut saya sangat indah dan sarat makna, cocok sekali untuk bacaan anak-anak mengenai arti persahabatan, dan saling memaafkan. Karena ditulis dari sudut pandang Maddie si gadis kecil, bahasanya juga sederhana dan tidak terkesan menggurui, lugu namun jujur. Yang unik, novel ini adalah novel klasik yang menceritakan tentang "bullying" ketika bahkan istilah "bullying" itu sendiri mungkin belum ditemukan atau belum populer. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata "tease", "ridicule" atau "game" yang dipakai untuk menggambarkan kegiatan "bullying" di sini, namun tak sekalipun istilah itu disebutkan. Ya iyalahhh.... terbit pertama kali sebelum Indonesia merdeka gitu loh...heheheee...

Review ini ditulis sebagai bagian dari Posting Bareng BBI bulan April 2016 dengan tema #BBIChildrenBooks

Enjoy!
See you in the next post ^_^

Sabtu, 23 April 2016

Spell Bound by Rachel Hawkins [review]

Title: Spell Bound (Hec Hall #3)
Author: Rachel Hawkins
327 pages (read in e-book version)
First published: 2012
Genre: Fantasy
My rating: 4/5

Warning: Jika belum membaca buku pertamanya (Hex Hall) dan keduanya (Demonglass), mohon jangan membaca review saya ini, karena mungkin mengandung spoiler. Saya tidak bertanggung jawab jika anda keracunan spoiler.

Setelah anggota Council menyegel kekuatan sihir Sophie, gadis yang sekarang hanya manusia biasa itu menuruti nasihat Cal dan mencari ibunya di keluarga Brannicks (keluarga wanita petarung dari Irlandia yang memburu Prodigium). Terdampar di rerumputan di tepi hutan, Sophie berhadapan dengan gadis kecil berambut merah, dan setelah melalui adegan kesurupan hantunya Elodie serta dipukul sampai pingsan oleh gadis berambut merah yang lain, Sophie akhirnya bertemu dengan ibunya, Grace. Namun ternyata kejutannya tidak sampai di situ saja, karena ternyata Grace mengungkapkan rahasia yang lumayan menggegerkan, dan merupakan awal mula semua masalah ini.

Sophie berada dalam kegalauan maksimal karena dia sama sekali tidak tahu keberadaan semua orang yang disayanginya, Cal yang masuk ke Thorne Abbey yang terbakar api untuk menolong James Atherton yang dipaksa melalui proses Removal sera Archer Cross di dalam sel. Juga sahabatnya Jenna yang entah di mana. Namun Torin, penyihir pria abad ke 16 yang terjebak di dalam cermin dan sekarang tergantung di Ruang Perang keluarga Brannicks, mengatakan bahwa Sophie akan menjadi seseorang yang mengalahkan kakak-beradik Casnoff dan menyelamatkan mereka semua... atau... dia akan bangkit menjadi pemimpin pasukan demon yang dibangkitkan oleh kakak-beradik Casnoff.

Jika kemarin saya mengatakan bahwa buku kedua lebih "emosional" dari buku pertama, nah... buku ini penuuuhhh dengan "drama", "teenage angst" dan "kegalauan tahap overload". Memang si bagian rahasia keluarga Brannicks yang terungkap itu twist yang sangat keren di awal buku, bahkan sempat bikin wow, meski tidak terlalu mengagetkan, namun cukup wow. Namun setelah itu kesannya pace-nya sangat lambat dengan bertubi-tubi percobaan pencarian grimoire dan mengambalikan kekuatan Sophie, plus, cinta segitiga yang sangat nggak banget antara, yag, bisa ditebak sendiri lah, Cal-Sophie-Daniel. And who the heck is Daniel? Ngahahahahaaaaa you know when you read it.

Memang sih, di buku ini karakter Archer Cross sepertinya memakan usaha double maksimal dari penulis untuk menjadi tokoh yang layak disukai, dan berusaha keluar dari "your typical hot guy in high school". Dan cukup berhasil kok, karena karakter Archer semakin kuat, tapi teteeep, cinta segitiganya ituu....nggak banget aduuuhh.... This is New Moon all over again, Nooooooo....!!!!!! And look what have you done to my sweet Callahan, Ms, Hawkins?! Aaaaaaargh...!!!
*Ika out*

See you in the next post!

Minggu, 17 April 2016

Belanja Buku di Festival Buku Murah Semarang 2016 [LPM]

Helloooo.... dari Semarang buat semua teman-teman. Kali ini saya mau setor LPM (Laporan Pandangan Mata) tentang kegiatan kalap bersama kopdar para anggota Goodreads Indonesia (GRI) Wilayah Semarang.

Sebelumnya, sedikit cerita mengenai Semarang Book Fair, ini adalah semacam wadah bagi pembaca dan kolektor buku untuk memperoleh buku-buku dari berbagai macam penerbit dengan beragam diskon lhooo.... Jika beruntung kita bahkan bisa mendapatkan sebuah buku bagus dengan hanya merogoh kocek sebesar Rp.10.000 saja. Asyik bukan? Lebih Asyik lagi, Semarang Book Fair ini diadakan di Semarang (biasanya berlokasi di Gedung Wanita) setiap dua tahun sekali, pada bulan April dan Oktober, selama seminggu penuh setiap kalinya.

Kali ini Semarang Book Fair diadakan mulai tanggal 6-12 April 2016 dengan mengusung tagline Orang Hebat Gemar Membaca, yang dipajang besar-besar di halaman gedung, tentu saya menyempatkan diri berfoto melampiaskan hasrat narsis dahulu. Saya berkunjung ke sini hanya dua kali (tidak seperti Mas Pra yang ke sini setiap hari, eh, ups... #kabur), pada hari pembukaan, yaitu hari Rabu tanggal 6 April dan berhasil membuat saya kalap belanja beberapa buku, beberapa diantaranya adalah Seri Infernal Devices nya Cassandra Clare, lengkap 3 buku (Clockwork Angel, Clockwork Prince dan Clockwork Princess) dengan hanya Rp.20.000 saja per buku. Menurut saya ini sudah oke banget mengingat Seri ini tebalnya minta ampun dan harga aslinya bikin mata melotot dan dompet kering, heheheee... Oh iya, maskot Semarang Book Fair kali ini adalah Raden Gatotkaca, tokoh wayang sakti yang sering dideskripsikan sebagai otot kawat balung wesi yang fotonya dipajang di poster besar di atas pintu masuk. Tidak kalah heboh, seorang pria berkostum Gatotkaca pun masuk ke dalam gedung, dengan mengenakan sepatu egrang yang membuat si Gatotkaca tampak tinggi menjulang sampai tiga meter, dan berfoto-foto dengan para pengunjung di berbagai stand sambil membawa tulisan "Sejuta Buku Untuk Indonesia".
Gatotkaca sedang berpose
Nah, pada tanggal 10 April 2016, bertepatan dengan hari Minggu, teman-teman dari GRI Semarang mengadakan Kopi Darat (Kopdar) pada pukul 10.00. Mas Pra si Pak Ketu, seperti biasa menjadi yang datang paling pagi. Pada saat saya sampai di parkiran gedung pada pukul 9.30 pagi, saya lihat Mas Pra justru keluar dari parkiran, katanya sih mau balik dulu sebentar untuk menaruh buku-buku hasil bookswap biar tidak berat. Jadi saya masuk saja langsung ke dalam gedung seorang diri. Di situ saya langsung menuju "Yusuf Agency", stand favorit saya di situ karena buku-bukunya murah dan banyak, meski saking banyaknya, kita harus teliti mencari buku-buku yang kita inginkan karena rasanya bagai mencari jarum di tumpukan jerami, heheheee.... Saya makin girang karena ternyata koleksi yang dipajang lebih banyak dan lebih beragam daripada hari Rabu lalu! Mulai asyiklah saya memilih-milih, terutama saya memborong novel Agatha Christie yang sedang didiskon dengan harga Rp.15.000 per bukunya. Saat itulah Mas Pra tiba-tiba muncul kembali dan mencuri foto saya yang sedang berjongkok sambil memeluk setumpuk buku...yang, tentu saja fotonya tidak akan saya pamerkan di sini, heheheee. Beberapa saat kemudian barulah Mas Tezar dan Mbak Cindy muncul.
Dari kiri ke kanan: Mbak Cindy, saya dan Mas Tezar. Fotografer: Mas Pra
Sempat agak lama kami berisik tertawa-tawa berdiskusi di situ, sambil sesekali memberi komentar pada buku ini dan itu, dan saling menjerumuskan mengingatkan satu sama lain untuk menambah belanjaan lagi dengan alibi "beli saja, mumpung nemu lhooo...mumpung murah lhooo...". Setelah itu muncullah Kak Vinta, dengan santainya melihat-lihat berbagai macam buku yang ditawarkan. Namun karena Saya, Mbak Cindy, Mas Tezar, dan Mas Pra sudah dari tadi dan agak lama di situ, dan sudah mulai kepanasan karena semakin ramai, kami berempat memutuskan untuk keluar gedung, mencari tempat untuk duduk dan mengobrol santai sambil minum es teh. Dan benarlah, setelah haha-hihi beberapa lama di situ, anggota lain mulai berdatangan termasuk Mbak Lila, Mbak Deli, Sierra, dan Mbak Isna yang datang dengan membawa undangan nikahnya (Selamat ya buat Mbak Isnaaaa #hugs), yang karena sedang kepanasan, justru kita pakai sebagai kipas darurat #ups. Saat sudah berkumpul seperti itu, tentu saja terjadi berbagai macam transaksi, mulai dari pinjam-meminjam buku, sampai bayar utang dan juga bagi-bagi buku gratis, heheheee.... Saya mendapatkan hadiah 6 buku Agatha Christie dari Mas Pra dan 2 buku Variety Art Works dari Mbak Cindy. Duh, senangnyaaaaa..... Terima kasih banyak Mas Pra dan Mbak Cindy, ailapyuuuuuuuuu, heheheee...
Pemberian dari Mas Pra dan Mbak Cindy :)
Karena pemberitahuan mengenai kopdar juga sudah diumumkan di media sosial, Mas Pra bilang akan ada anggota baru yang akan datang bergabung. Dan benar saja, tak lama kemudian, muncullah gadis manis berjilbab yang bernama Cahya, seorang mahasiswa jurusan Tata Kota dari UNDIP yang sangat suka membaca buku-buku sastra.

Setelah puas ngobrol sambil menonton orang-orang berlalu-lalang, tentu kami memutuskan untuk berfoto bersama di depan tulisan tagline, dan di depan poster Gatotkaca di atas pintu masuk.
Dari kiri ke kanan: Cahya, Mbak Lila, Mbak Deli, saya, Sierra, Mbak Vinta, Mbak Cindy, Mbak Isna dengan Mas Tezar di depan sendiri sedang jongkok. Fotografer: Mas Pra
Setelah puas berfoto, beberapa teman memutuskan untuk pulang sementara saya, Mbak Cindy, Mas Tezar, Mbak Deli dan Mbak Isna memutuskan untuk makan siang dahulu karena perut sudah meminta untuk diisi.
Makan siang di Warung Steak and Shake di Jl. Singosari, Semarang. Fotografer: Mas Tezar
Berikut ini ada beberapa foto yang saya ambil dari grup WA:
Kata Mas Pra foto yang bagian bawah itu adalah foto buku-buku yang belum sempat dipajang di Yusuf Agency di hari terakhir pameran. Wah, sayang sekali ya.....

Sekian update LPM dari saya, semoga berkenan :)

See you in the next post ^_^

Sabtu, 16 April 2016

Demonglass by Rachel Hawkins [review]

Title: Demonglass (Hex Hall #2)
Author: Rachel Hawkins
359 pages (read in e-book version)
First published: 2011
Genre: Fantasy
My rating 4/5

Warning: Jika belum membaca buku pertamanya (Hex Hall), mohon jangan membaca review saya ini, karena mungkin mengandung spoiler. Saya tidak bertanggung jawab jika anda keracunan spoiler.

Sophie Mercer , yang di akhir buku pertama menemukan fakta bahwa dia terlahir sebagai demon generasi keempat, memutuskan untuk melakukan Removal (ritual penghapusan kekuatan sihir yang sangat berbahaya dan mungkin bisa berakibat fatal). Keputusannya ini tentu saja ditentang oleh semua orang, termasuk ibu dan ayahnya, juga tunangannya Cal. Namun ayah Sohie, James Atherton sang Kepala Council, berhasil membujuk Sophie untuk melewatkan musim panas di London, Inggris untuk mempelajari lebih lanjut hal-hal mengenai 'demonisasi'nya sebelum dia memutuskan untuk melakukan Removal. Tentu sahabatnya Jenna si vampir dan Callahan atau Cal tunangannya harus ikut serta.

Bukannya melewatkan musim panas di rumah sang ayah, James Atherton justru membawanya ke markas besar Council yang ternyata merupakan rumah keluarga Thorne, tempat awal mula Alice (nenek buyut Sophie) dirubah menjadi demon melalui sebuah ritual oleh Virgiia Thorne di masa lalu. Pelan-pelan, sejarah keluarga Sophie terungkap di sini. Meskipun begitu, Sophie tetap saja bisa melakukan banyak kegiatan yang menyenangkan di banguanan ala kastil itu, mulai dari father-daughter-bonding time bersama sang ayah, clubbing bersama Nick dan Daisy yang juga sesama demon, hingga pertemuan rahasia dengan Archer Cross yang ditaksirnya.

Buku kedua seri ini terasa lebih "berat" dan lebih "emosional" dari buku pertamanya, meski harus diakui, sarkasme yang lebih banyak bertaburan di buku ini memang membuat suasana membaca jadi segar menyenangkan. Bagian separo awal buku ini rasanya penuh dengan informasi-informasi yang, meskipun tidak bikin terbengong kaget, namun berhasil membuat pertanyaan yang banyak muncul setelah membaca buku pertamanya terjawab dengan masuk akal. Bagi saya, yang memang suka sekali adegan action, bagian separo awal ini agak lambat, namun informatif. Nah, memasuki bagian separo akhir barulah ketegangan memuncak total. Bagian akhir ini pace dan ketegangannya sangat memuaskan, sampai membuat saya berpikir mungkin si penulis sengaja seperti ingin membuat 'bom' maksimal sebagai gong nya, apalagi dengan akhir yang sangaaaaaaattttt menggantung.

Terus terang saya puas maksimal membaca buku kedua ini karena, selain karakter-karakternya yang sepertinya sudah berkembang lebih baik dari buku pertama, ceritanya juga bisa lepas dari bayang-bayang "sekolah sihir Hogwarts". Soalnya memang, jika menengok kembali buku pertama itu, karena settingnya sangat "sekolah sihir", mau tidak mau saya jadi sedikit menganggapnya sebagai fanfiction Harry Potter ala Alternate Universe, hahahaaaa.... Tapi hebatnya, buku ini bisa merubah arah alur cerita agar tidak "Hogwartsy" banget, dan bahkan menyentuh ranah per-politikan dengan lebih menghadirkan peran kelompok-kelompok besar yang berperang di bdang sihir.

Oh iyaaaa, jujur saja, saya di buku ini jatuh cinta sama karakter Alexander Callahan (Cal) yang pendiam, namun hot dan sihir penyembuhannya keren banget.... Dan, jujur saja ya, si Archer Cross, love-interest-nya Sophie itu, saya bahkan nggak tau dia bagusnya apa selain digambarkan sebagai "typical hot guy at school that every girl loves", eurghhh....cetek.

Sekian dulu cuap-cuap saya tentang buku ini, enjoy! See you in the next post ^_^

Selasa, 12 April 2016

A Letter To J.K. Rowling

HAPPY BIRTHDAY, BBI....!!!!!

Tomorrow, April 13th, is BBI (Book Blogger Indonesia)'s 5th anniversary. As a way to celebrate our beloved community;s birthday, we (the book bloggers) are encouraged to write a letter to our favorite author. So I decided to write one to J.K. Rowling.



Dear Ms. Rowling,

I know this letter is kind of 'mandatory' as a way to celebrate my blogger-community's birthday, but when I decided to write this, I actually wanted to write this because I've been meaning to say something to you since I was eleven years old: thank you.

Thank you for writing the most magical story I've ever read in my life :)

Let me tell you a story of how I met Harry Potter and fell in love with the series.

My name is Kartika, which is a Javanese word means 'star', but everybody calls me Ika. I came from a small town named Purwokerto, in the south part of Java Island, Indonesia. I was eleven years old (almost twelve) at the time, and one of my childhood friends lent me a book called "Harry Potter and the Sorcerer's Stone" (the Indonesian language translation one). I was a bit skeptical about it, but my friend persuaded me and said that 'the book is about wizards but it is unlike any other wizard-books I've read'. So I brought the book home, and read it, and soon found that I could not stop until I finished it. When I reached the last page of the book, I knew I was in love.

Soon after that, I got my hands on the second and the third book which were already translated and published at the time, still borrowing from my friend. When it was time to return the books to her, I knew I was doomed: I could not stop rereading them. I did not want to return them. I wanted to have them all for myself.

Several months after returning the books, I went to a bookstore alone on a sunday afternoon, bringing a bunch of my pocket money I'd been saving for months, and bought all three Harry Potter books that have been published. I was twelve. And those three books were the first three novels I collected (now I collect a lot of novels).

I had to wait for almost two years to get the fourth book, waiting for it to be translated and all. And by the time I read the fourth book, I was already fourteen years old and was having an important test at junior high school. Because of the test, my parents didn't allow me to read it until after the test. So I stayed up at midnight, pretending to be asleep, but actually, I was reading the book with a flashlight under the blanket. And then, the fifth book came when I was in senior highschool. I was fifteen years old when I read that one. Maybe it was because of the same age as Harry throughout the series, but for me, I find it was very easy to fall in love with Harry Potter.

Up until the fifth book, I always read those in Indonesian language, the translated editions. But since the series were a big hit, local bookstores started to sell the English editions after that, which is very unusual, actually, but it made me scream in happiness inside. Let me tell you that in my town, it is very very verrryyyy hard to find imported books or books written in English. Even if there are, the cost is highly expensive. So, unless you live in Jakarta, it is very hard to acquire imported books.

Anyway, I stumbled into the sixth book when I was preparing to go to university, already seventeen years old. It was in English, not the translated one. I was amazed. It was my first English book I've ever had. And I read it because I coudn't bear to wait a whole year for the translated version to be published. It was the first novel in English that I read from the beginning until the end...and it was not an easy task to do since it is not in my mother tongue. Actually, I admit, I consulted a dictionary many many times when I was reading it.

By the time the last book published, I could read the whole book in English with no major problems, and I enjoyed it immensely. Of course, I was already in university when I read the finale.

I literary grew up with Harry. Harry Potter books were always there thoughout my childhood. They are a huge part of my childhood, a magical part. Without Harry Potter, I would never know the joy of collecting novels (now I also collect Harry Potter books both in Indonesian language and in English, but sadly, I still don't have the fourth book in English. Like I said, it is still very hard to find imported books here *cry*). Without Hary Potter, I would not be encouraged to improve my English. So, once again, thank you, for bringing the whole magical world into my life. 

Thank you for my magical childhood.

I loved the series then, and I love them still.

I sincerely wish you a very happy and magical life.


Love from your biggest fan,
-Ika-

PS. I'm reading your other books now, and I'm halfway through The Cuckoo's Calling.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...