Tampilkan postingan dengan label Drama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Drama. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 04 April 2015

Sky Burial by Xinran [review]

Judul Asli : Sky Burial
Judul terjemahan: Pemakaman Langit, Sebuah Kisah Cinta Heroik dari Tibet
Penulis: Xinran
Penerjemah: Ken Nadya Irawardhani Kartakusuma
Penerbit: Serambi
Tahun terbit: 2007
ISBN: 978-979-1275-02-6

Apa sih yang selama ini kita tahu tentang Tibet? Pakaian tebal warna-warni, kepang rambut, dataran tinggi, dan Dalai Lama? Well, sebenarnya jawaban seperti itulah yang akan saya berikan sebelum saya membaca buku ini.

Saya pertama kali mendengar tentang buku ini dari teman sesama blogger kak Lila, yang meminta buku ini sebagai hadiah ulang tahun arisan BBI Joglosemar 2 tahun lalu. Saat itupun buku ini sudah termasuk susah dicari, padahal saya adalah salah satu petugas pencari kado. Untunglah mas Tezar yg banyak akal, yg saat itu juga bertindak sebagai sesama rekan pencari kado bisa menemukan buku ini entah di mana. Setelah itu buku ini sempat terlupakan dari ingatan saya, sampai saya mendengar teman sesama blogger buku lain yg mencari-cari buku ini juga. Nah lho, sebegitu bagusnyakah buku ini sampai dicari banyak orang? Padahal di toko-toko buku biasa sudah tidak lagi dijual.

Ingat postingan saya yang lalu mengenai LPM (Laporan Pandangan Mata) Kopdar 3 kota Joglosemar di Jogja? Saat itu saya sedikit membahas bahwa rombongan Semarang sempat mampir sebentar ke JBS (Jual Buku Sastra) yang berlokasi di Gang Semangat di Jogja. Saya hanya membeli 2 buku saja (yang keduanya sudah selesai dibaca lho, uhuk, jadi bukan ditimbun) yaitu Wonder oleh R.J. Palacio (review menyusul yach) dan Sky Burial oleh Xinran. Beruntung sekali saya ketemu dua buku yang saat ini sudah sulit dicari, jadi langsunglah saya beli.

Halaman pertama buku ini sudah membuat saya tergerak untuk membacanya lagi dan lagi. Bagian pengantarnya menceritakan kisah si penulis saat masih kecil, mendengar ucapan orang mengenai "pemakaman langit". Nah, penasaran kan apa itu pemakaman langit? Apakah itu ritual pemakaman yang dilakukan di atas helikopter atau balon udara? Ternyata itu adalah tradisi warga Tibet yang mencincang jasad si mati dan ditaburkan di atas bukit agar dimakan burung-burung pemakan bangkai yang keramat. Konon, dengan menjadi makanan para burung tersebut, itu adalah salah satu bentuk harmonisme manusia dan alam, dan arwah si mati dapat terbang ke surga dibantu oleh para burung yg memakan jasad tersebut dan terbang ke langit. Jujur saja saya juga ngeri membayangkan hal ini, namun saya tergelitik untuk terus membacanya karena saya jadi lebih mengenal budaya dan cara hidup orang Tibet yang awalnya masih asing bagi saya.

Bagaimana kisah ini dimulai?

Saya akan memulainya dengan menanyakan "Apa yang akan kau lakukan demi cinta?" Relakah kau maju ke medan perang tanpa berbekal apapun selain tekad membara untuk menemukan suamimu? Relakah kautinggalkan kemewahan dunia modern dengan segala pernak-perniknya seperti internet, gadget, bahkan jam dinding dan buku yang kaubaca untuk hidup dalam pengasingan di dataran tinggi Tibet secara nomaden selama lebih dari 30 tahun demi suamimu?

Itulah Shu Wen. Dia adalah wanita terpelajar dari Cina dan merupakan seorang dokter dan dermatologis. Suaminya, Kejun yang juga sesama dokter, ditugaskan ke Tibet saat terjadi konflik Cina-Tibet sebagai salah satu "Tentara Pembebasan" saat usia pernikahan mereka baru sekitar tiga minggu. Belum menginjak usia 100 hari pernikahan, Shu Wen menerima kabar bahwa Kejun telah tewas. Anehnya, kabar tentang tewasnya Kejun sangat "hush-hush". Wen tentu saja merasa ada yang janggal. Dengan emosi meluap, dan keinginan kuat mencari tahu kebenaran kabar tentang apa yang terjadi pada suaminya, Wen pun mendaftar sebagai tentara wanita ke Tibet. Di tengah perjalanannya, dia bertemu sengan Zhuoma, wanita Tibet bernasib tragis dari keluarga terpandang yang juga sedang mencari kacung dan kekasihnya, Tiananmen. Mereka berdua tidak sengaja terpisah dari para tentara dan terluka parah, dan ditolong oleh keluarga nomaden Tibet, yang akhirnya menganggap mereka bagian dari keluarga tersebut. Dari situlah Wen akhirnya menjelma dari seorang wanita Cina menjadi Wanita Tibet dan penganut Budha yang taat.

Lalu apakah Wen dan Zhuoma berhasil bertemu cinta sejati mereka yang terpisah? Nah, bagian ini yang harus dicari tahu dengan baca langsung bukunya yach...hehee...

Bagian paling memesona dari buku ini adalah tentang budaya Tibet. Setelah membaca buku ini, saya jadi memahami budaya Tibet yang kata orang dikenal keras, dan barbar , ternyata sarat makna, dan mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam dan sang pencipta. Kita bisa belajar banyak dari masyarakat Tibet tentang kesederhanaan dari cara hidup mereka yang semuanya dari alam, tentang kesabaran yang ditempa dengan pergantian musim, tentang keuletan mereka bekerja keras memerah susu dan membuat gerst untuk makan sehari-hari, dan juga tentang keramahan dari bagaimana mereka memperlakukan tamu yang datang layaknya raja. Sungguh buku ini membuka mata saya tentang banyak hal indah di dunia ini yg bisa kita lihat dari mempelajari budaya asing.

Selasa, 28 Mei 2013

Review: For One More Day by Mitch Albom

Paperback, 245 halaman
Judul asli: For One More Day
Judul terjemahan: Satu Hari Bersamamu
Penerbit: Gramedia
Cetakan ketiga November 2012
Penerjemah: Olivia Gerungan
Desain sampul: Eduard Iwan Mangopang

"Sekarang kau tahu ada orang yang sangat menginginkanmu, Charley. Anak-anak terkadang melupakan itu. Mereka melihat diri sendiri sebagai beban dan bukan sebagai jawaban doa." -hal 92-

Charley "Chick" Benetto merasa hidupnya hancur. Mantan atlet bisbol yang tidak begitu terkenal harus bekerja mati-matian setelah tabungannya ludes gara-gara investasi palsu. Dia pun melarikan diri ke minuman keras. Istrinya meninggalkannya. Dan puncaknya, putrinya Maria bahkan tidak mengundangnya ke acara pernikahannya, seolah malu akan keberadaan ayah kandungnya sendiri. Kehidupan tanpa keluarga dan tanpa pekerjaan yang jelas, bukankan itu alasan yang sangat tepat untuk bunuh diri? Dan itulah yang dilakukan Charley.

Namun betapa kagetnya ketika sesaat setelah percobaan bunuh diri itu, Charley menjumpai ibunya yang telah lama meninggal menyambutnya di rumah lama mereka, seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah ibunya tidak meninggal delapan tahun silam. Seolah Charley tidak baru saja berusaha bunuh diri. Seolah segalanya baik-baik saja. Ibunya bahkan membuatkannya sarapan, dan mengajaknya berkeliling menemui tiga orang yang berbeda. Dan percakapannya dengan ibunya bahkan membawanya kepada masa lalu yang telah lama dilupakannya.

Membaca cerita ini seperti dibawa ke alam mimpi, maju-mundur-maju-mundur... itulah efek flashback yang banyak disisipkan oleh Mitch Albom dalam novel ini. Namun bukannya membingugkan seperti flashback yang biasa kita jumpai di kebanyakan novel, flashback yang ada di sini justru sangat informatif karena hanya berupa potongan-potongan kisah yang bisa berdiri sendiri meski masih 'nyambung' dengan kisah utamanya. Dan justru kebanyakan flashback itulah yang menurut saya membuat ceritanya jadi sedap.

Pacenya juga cukup cepat dan tidak bertele-tele, satu nilai lebih lagi menurut saya. Bahasanya tidak menggunakan gaya yang sok tingkat tinggi, namun bahasa sehari-hari yang enak dimengerti namun tetap layak dijadikan quotation. Dan tentu saja, makna dan pesan moral yang sangat dalam untuk tidak menyia-nyiakan hari-hari yang bisa kita lalui bersama ibu dan keluarga kita tercinta. Dan jujur saja, jika bisa memilih satu hari lagi untuk dilewati, saya juga akan memilih menghabiskannya bersama ibu tercinta, seperti selayaknya semua anak di dunia ini ^_^

Memorable Quotes:

"Dan aku sadar setiap kali kau memandang ibumu, kau sedang menatap kasih sayang paling murni yang pernah kaukenal"            -hal 218-

"Tetap tinggal bersama keluargamu adalah apa yang menjadikannya keluarga" -hal 228-
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...