Selasa, 23 April 2013

Review: Tuck Everlasting by Natalie Babbitt

Paperback, 172 halaman
Penerbit: Atria
Tahun terbit: 2010
Penerjemah: Mutia Dharma
Ilustrasi: Amalia Kurniasih
Desain sampul: Aniza Pujiati
ISBN: 978-979-024-458-0

"Kau tidak akan bisa hidup jika kau tidak bisa mati." 
(hal 90)

Kutipan di atas adalah salah satu dialog dari Angus Tuck, kepala keluarga Tuck, yang diberkahi atau dikutuk untuk hidup selamanya. Immortality merupakan hal yang sangat bisa diperdebatkan, dan Ms. Babbitt mengangkatnya melalui sebuah kisah mengenai sebuah keluarga yang bisa hidup selamanya.

Tuck dan Mae Tuck beserta kedua putra mereka Miles dan Jesse memiliki kehidupan abadi setelah minum dari sebuah mata air ajaib di tengah hutan. Hutan tersebut, yang dulunya masih hutan belantara merupakan properti milik keluarga Foster. Putri kecil keluarga Foster yang bernama Winnifred (Winnie) merupakan anak tunggal keluarga Foster, yang karena jengah memutuskan untuk kabur dari rumah ke arah hutan milik keluarganya. Tak disangka, di hutan tersebut dia bertemu dengan Jesse Tuck yang rupawan dan kakak laki-lakinya Miles, juga ibu mereka Mae. Winnie yang dilarang meminum mata air ajaib oleh Jesse akhirnya 'diculik' oleh keluarga Tuck untuk diberi penjelasan. Tak disangka, kasus penculikan ini berakhir pada persahabatan.

Masalah pun muncul ketika seorang pria asing mengikuti mereka dan mencuri dengar penjelasan mereka mengenai mata air keabadian milik keluarga Foster. Pria tersebut menjebak keluarga Tuck dengan menggiring seorang polisi dengan tuduhan penculikan terhadap putri keluarga Foster dan berusaha merebut hak milik hutan keluarga Foster beserta mata air keabadian yang ada di dalamnya.

Judul dari buku ini adalah Tuck Everlasting, yang jika hanya dari membaca judulnya saja, saya mengharapkan kisah keluarga Tuck bisa dibeberkan lebih detail terutama mengenai ke-"everlasting"-an mereka. Sayangnya saya harus menelan ludah kekecewaan. Kenapa? Karena masalah "keabadian" di sini terasa hanya sebagai bumbu penyedap saja dalam petualangan kecil Winnie. Sayang sekali. Padahal pasti akan sangat menarik mengetahui bagaimana keluarga Tuck selama ini melewatkan masa hidup mereka yang sangat amat panjang.

Karakter dalam kisah ini sudah cukup bulat, namun terasa seperti belum matang dan tidak dikembangkan. Rasanya saya seperti hanya bersalaman dengan para tokoh saja, hanya melihat bagian luarnya. Padahal jika mau, karakter Tuck yang menganggap imortalitas sebagai sebuah kutukan dan bagaimana dia menjalani hari-harinya,  karakter jesse yang periang dan sepertinya sangat bahagia dengan keadaannya, karakter Mae yang ramah dan "nrimo", juga Miles yang melankolis setelah berpisah dengan istri dan anak-anaknya bisa dikembangkan menjadi konflik rumit yang mengharukan meski ini merupakan buku anak-anak.

Satu pelajaran yang bisa dipetik adalah dari karakter Winnie. Dia adalah salah satu dari sangat sedikit orang yang diberi kesempatan untuk memilih: kehidupan manusia normal atau imortalitas. Dan apa yang dia pilih pada akhirnya? Apakah kehidupan selamanya bersama Jesse yang rupawan dan sangat disukainya adalah hal yang dipilihnya? Dan bagaimana dengan kalian semua, jika diberi kesempatan memilih seperti Winnie, akankah kalian memilih imortalitas???

2 komentar:

  1. Waaah aku suka banget filmnya. Bukunya sih belum baca. Yang jadi Jesse ganteng. Ehehehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaa, lha ini...harus segera nonton film-nya kalo gitu *gara2 lihat tulisan 'yang jadi Jasse ganteng'* #salahfokus :D

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...