Sabtu, 26 April 2014

Ways to Live Forever by Sally Nicholls

Paperback, 214 halaman
Judul Terjemahan: Setelah Aku Pergi
Judul Asli: Ways to Live Forever
Penulis: Sally Nicholls
Penerjemah: Tanti Lesmana
Penerbit: Gramedia
Tahun Terbit: 2008 (Indonesia)
Harga: Rp. 22.500,- (harga obral)
ISBN 978-979-22-3653-8


"Itu," kata Felix, "omong kosong paling konyol yang pernah kudengar. Tuhan membuatmu kena kanker supaya kau bisa menyadari betapa enaknya naik sepeda? Masa kau mau tulis begitu!" -pg. 51-

Ucapan di atas memang terdengar sangat sinis. Namun mungkin jika kau berada di posisi Felix, anak lelaki berusia tiga belas tahun yang mengidap kanker, kau juga mungkin akan sesinis itu.

Setiap orang menghadapi cobaan hidup dengan cara yang berbeda-beda. Itulah yang menurut saya sedang coba disampaikan Ms. Nicholls dalam bukunya yang fenomenal ini. Ada yang menghadapinya dengan sinis seperti Felix, ada pula yang menghadapinya dengan penyangkalan seperti Mr. McQueen, atau dengan mencari cara untuk mencapai keabadian, seperti tokoh utama kita Sam.
Daftar No. 1: FAKTA-FAKTA TENTANG AKU
1. Namaku Sam
2. Umurku sebelas tahun
3. Aku suka mengumpulkan cerita dan fakta-fakta yang fantastis
4. Aku mengidap leukimia
5. Saat kalian membaca buku ini, kemungkinan aku sudah pergi. -pg.13-
Intro di atas menurut saya cukup bombastis karena to the point tapi intriguing. Dengan membaca pembukaannya saja, kita sudah bisa mengharapkan dan menebak-nebak apa yang bakal terjadi di buku ini tanpa menghilangkan unsur suspense di sepanjang cerita.

Sam, yang berumur sebelas tahun dan menderita leukimia stadium akhir, mendapatkan ide dari guru privatnya Mrs. Willis untuk menulis sebuah buku tentang dirinya. Berawal dari sebuah proyek sekolah, Sam menulis sebuah "Bucket List" (daftar mengenai hal-hal yang ingin dilakukan sebelum meninggal). Bucket list tersebut hanya keisengan Sam yang tidak benar-benar berniat mewujudkannya, namun Felix, sahabatnya sesama penderita kanker 'mendorongnya' untuk mewujudkannya, satu demi satu.

Dua sosok sahabat ini sangat menarik menurut saya. Felix yang hanya dua tahun lebih tua dari Sam bersikap seperti seorang kakak pemberontak yang badung. Sedangkan Sam yang lebih kalem seperti adik yang penurut namun juga suka bersenang-senang. Mereka melakukan berbagai macam hal 'ajaib' untuk mewujudkan bucket list milik Sam. Keduanya memiliki cara pandang yang sangat berbeda dalam menghadapi penyakit mereka, namun hal tersebut justru menjadi pelengkap persahabatan mereka.

Tokoh Sam, yang hanya berumur sebelas tahun, adalah sosok yang cerdas dan pemberani. Dia menghadapi 'kematian' dengan pikiran logis seperti orang dewasa, bukannya menangis dalam pelukan orangtua, namun dia justru mempertanyakan alasan-alasan ilmiah di balik penyakitnya, hingga sikap 'nrimo'-nya yang terpampang jelas pada detik-detik akhir kehidupannya dengan cara berusaha hidup semaksimal mungkin.

Tokoh Felix, sementara itu, bersikap sinis karena dia marah, namun dia tidak tahu harus marah pada siapa. Ada beberapa bagian cerita yang menunjukkan amarahnya yang merskipun hanya tersirat, jika diperhatikan terasa cukup jelas. Kutipan di atas yang saya pakai sebagai pembuka post ini contohnya, merupakan ungkapan kemarahan Felix pada Tuhan yang memberi penyakit padanya tanpa alasan yang dia belum mengerti. Point nomor dua dari daftar yang dibuat Felix bahkan berbunyi "mengebom semua dokter pakai bom nuklir"(pg 33) -ini jelas-jelas menunjukkan amarahnya pada para dokter yang dalam sosok seorang anak, seharusnya memiliki sentuhan ajaib yang bisa menyembuhkan segalanya, namun ternyata juga angkat tangan dalam kasus Felix. Dilema Felix inilah yang membuatnya menjadi sinis, dan pemberontak. Sepertinya dia ingin menyampaikan pada dunia bahwa "kalau aku besok mati, sebaiknya kulakukan saja semua hal gila yang ingin kulakukan sekarang".

Lain halnya dengan reaksi para orangtua Sam. Sang ayah, Mr. McQueen berusaha sebaik mungkin untuk menghadapi segalnya dengan "melakukan hal-hal normal". Puncak penyangkalan sang ayah terjadi ketika sang ayah memaksa Ella (adik kecil Sam) untuk ke sekolah "seperti biasa" sedangkan Sam ingin sekali mereka semua bermain seluncuran salju, yang mungkin untuk terakhir kalinya dalam hidupnya. Sang ibu sementara itu, hampir selalu menuruti kemauan Sam selagi ada kesempatan.

Karena diceritakan dari sudut pandang anak lelaki berumur sebelas tahun, gaya bahasanya pun lugas seperti penuturan anak-anak. Jujur dan tidak bertele-tele. Namun bukan berarti dangkal lho, soalnya buku ini sukses membuat saya menangis di akhir cerita , heheee.... Dan bagi saya, buku yang sukses membuat saya meneteskan air mata itu sangat layak dapat bintang 5 :)
Dan salut juga buat Gramedia yang bikin cover buku yang cakeeeeeeppp dan imuuutttt banget. Luv it so much ^_^

Dan....ternyata ini sudah difilmkan lho!!!! Poster filmnya bisa dilihat di bawah ini. Dari posternya sih, itu film menang banyak penghargaan juga. *langsung ngacir kalang kabut nyari filmnya*

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...