Senin, 30 September 2013

Scene On Three #1: A Severus and Harry Moment

A meme hosted by Bacaan B.Zee 

Saya yakin semua orang pasti tahu tentang Harry Potter, sebuah saga yang legendaris (menurut saya), dan Scene on Three kali ini diambil dari buku keempat dari saga tersebut yang berjudul 'Harry Potter and the Goblet Of Fire'.

Kalau masih kurang jelas bisa lihat gambar close-up di bawah ini:

Furious, Harry threw his ingredients and his bag into his cauldron, and dragged it up to the front of the dungeon to the empty table. Snape followed, sat down at his desk and watched Harry unload his cauldron. Determined not to look at Snape, Harry resumed the smashing of his scarab beetles, imagining each one to have Snape's face.
Scene di atas dapat ditemukan pada halaman 447 buku Harry Potter English Edition terbitan Bloomsbury. Kenapa scene tersebut menurut saya menarik?
Karena entah kenapa, kalimat terakhir tersebut sangat pas menggambarkan betapa amarah Harry saat itu sedang meluap-luap, namun juga menandakan sebuah pengendalian diri yang kuat. Ketika kita sedang marah, ada kalanya emosi yang kita rasakan bisa diluapkan sesuka hati, namun ada kalanya emosi tersebut harus kita pendam karena berbagai keadaan. Namun bukan berarti kita tidak bisa meluapkan emosi dengan pikiran kita, lho. Dan itulah yang dilakukan Harry.
Ada yang ingat ucapan seseorang (yang saya lupa siapa namanya) bahwa "your mind is a very powerful thing"? Ini benar sekali, karena ketika kita tidak bisa berekspresi di dunia nyata, siapa yang bisa melarang pikiran kita untuk mengembara dan berkreasi sesuka hati?

Tanpa sadar saya juga sering menerapkan teknik ini, melampiaskan amarah dalam pikiran tanpa mengganggu hubungan sosial saya dengan beberapa orang, dan setelah itu, pufffff....rasanya lega dan segala pikiran buruk menghilang! Ajaib benarrr.....hahahaa.... Thanks untuk tips pengendalian diri-nya, Harry! You're the best!

Pengen ikutan meme Scene on Three?
Caranya gampang!!!
Langsung klik aja di Bacaan B.Zee ini. Oke? I'll see you next 3!

Have a fun 30th of September, guys!

Minggu, 29 September 2013

Rencana Besar by Tsugaeda


Paperback, 372 halaman
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: Agustus 2013
Genre: Thriller
ISBN: 978-602-7888-65-4








Ini buku yang mendarat di tangan saya tanpa sengaja. Kok bisa? Jadi ceritanya nih, Kak Cindy (yang dapet buku ini sebagai buntelan langsung dari penulisnya) meminjamkan buku ini ke Kak Lila, yang karena sering banget ketemu saya, maka buku ini dititipkan pada saya untuk diberikan ke kak Lila. Nah, proses titip-menitip yang njlimet ini tentu saja melalui proses SBI (Sensor By Ika)yang artinya saya baca dulu sendiri, hehehee.... ini juga dari koar-koar kak Cindy yang bilang bahwa buku ini "nggak kusangka bisa sebagus ini" (demikian kutipan langsung dari kak Cindy di Gramed Pandanaran, Semarang pada Sabtu siang itu #tsahhh XD

Buku ini cukup mengesankan, mengingat ini buku tentang intrik perbankan pertama yang saya baca dan ditulis orang indonesia pula! Untuk sebuah buku yang bukan kategori genre favorit saya, buku ini bisa menemani malam minggu saya dengan sukses.

Makarim Ghanin yang bukan seorang detektif tiba-tiba mendapat tawaran pekerjaan yang tidak biasa dari teman masa kuliahnya yang saat ini menjabat sebagai Wakil Direktur di Universal Bank of Indonesia (UBI). Agung, si wakil direktur, memintanya menyelidiki kasus menghilangnya sejumlah besar uang, yang mengacu pada tiga tersangka utama: Rifad Akbar si Patriot yang militan dan pemimpin Serikat Pekerja, Reza Ramaditya sang jenius muda yang entah karena alasan apa sedang mengalami demotivasi, dan Amanda Suseno si perayu yang cantik dan seorang pegawai teladan yang sangat dipercaya.

Untuk menyelidiki dan terjun langsung dalam kasus ini, Makarim memutuskan mengambil "cuti" dari kantor yang didirikannya bersama dua koleganya, dan terbang ke Surabaya, tempat ketiga tersangka menjalankan aktifitas kantornya. Ketiganya memiliki posisi yang berbeda di UBI, maka Makarim pun memakai cara-cara yang berbeda untuk bisa bertemu langsung, bercakap-cakap, dan mengenal para tersangka tanpa dicurigai. Dengan kedok sebagai calon nasabah, dia mendekati Reza dan Amanda secara terpisah, dan saat menemui Rifad, Makarim berpura-pura sedang melakukan pengecekan sistem yang pernah dibuatnya untuk UBI di masa lalu. Namun semakin menyelami kasus tersebut semakin Makarim menyadari bahwa kasus ini tidak seperti kelihatannya, hingga muncul sebuah nama misterius: Ayumi Pratiwi.

Siapa Ayumi Pratiwi sebenarnya hingga nama orang yang sudah meninggal tersebut seolah-olah menjadi dalang dari sebuah intrik terselubung ini? Kejadian semakin memanas ketika Reza akhirnya....... oke cukup sekian saja, saya takut malah nantinya menyebar spoiler, heheheee...

Untuk buku fiksi karya pertama, mas Tsugaeda cukup sukses menggarapnya. Apalagi genre seperti ini termasuk langka diangkat oleh para penulis lokal. Ketiga tokoh sentral yang disorot memang memiliki karakter yang sangat khas, namun karakter Makarim sendiri menurut saya justru biasa-biasa saja, seperti orang yang berpapasan dengan kita di pinggir jalan dan kita tak akan melirik dua kali. Padahal seharusnya tokoh ini bisa digali lagi agar lebih 'berpendar' mengingat sebagian besar adegan di buku ini, meskipun diceritakan dari sudut pandang orang ketiga, sangat menitikberatkan pada apa yang dilihat dan dirasakan oleh tokoh Makarim. Lalu tokoh antagonis di sini (yang tidak akan saya sebutkan namanya karena kemungkinan spoiler) juga terkesan seperti tokoh penjahat yang sangat klise.

Ada satu hal lagi yang agak sedikit mengganggu adalah disebut-sebutnya pada awal cerita tentang salah satu kolega Makarim yang mendapatkan tawaran dari BNN dan Pemerintah untuk menyelidiki kasus sindikat Narkotika. Ini masih di bagian awal novel, namun saya sudah menduga, 'nah ini pasti jadi 'gong'-nya nih', dan ternyata memang seperti dugaan saya! Agak kecewa juga karena akhir kisahnya agak terlalu mudah saya tebak, sebenarnya. Ini juga sebaiknya jadi pertimbangan saat merilis novel selanjutnya, bahwa clue-clue yang diberikan pada pembaca sebaiknya jangan terlalu kentara.

Terlepas dari semuanya, rating 4 dari 5 bintang rasanya pantas diterima buku ini. Semoga karya yang selanjutnya bisa membuat saya begadang samalaman juga :))

Jumat, 27 September 2013

Warna Langit by Kim Dong Hwa

Paperback, 322 halaman
Judul asli: The Story Of Life On The Golden Fielsd Vol. 3
Penulis: Kim Dong Hwa
Penerjemah: Rosi L. Simamora
Editor: Tanti Lesmana
Penerbit: Gramedia
Tahun terbit di Indonesia: 2011
Tahun terbit di Korea: 2003
Genre: Novel Grafis Dewasa
ISBN: 978-979-22-6525-5


"Kau tak tahu betapa sulitnya menunggu itu. Kau tak tahu betapa menyakitkannya. Ketika musim-musim berlalu dan kau melihat hujan datang dan pepohonan tumbuh semakin tinggi, kau merasa dirimu layu sementara kau menunggu dan menunggu." - hal 39-
Ya, itulah salah satu cuplikan dialog ciri khas trilogi ini. Sebagian orang menganggapnya puitis, namun sebagian yang lain menganggapnya bertele-tele, heheheee...

Ehwa sudah berusia tujuh belah tahun, gadis belia yang ranum dan sudah siap dipetik (kayak buah aja dipetik), atau dengan meminjam istilah Mr. Kim, layaknya bunga yang sedang mekar da menunggu kupu-kupu api untuk hinggap menghampirinya. Konon katanya kupu-kupu api adalah binatang yang setia.Dan coba tebak siapakah kupu-kupu yang beruntung menghinggapi mahkota bunga Ehwa? Yup, anda benar...seorang pemuda perkasa bernama Duksam yang sudah diceritakan di buku sebelumnya. Di akhir buku sebelumnya Duksam diceritakan pergi merantau ke daerah laut agar dia bisa menjala ikan, mengumpulkan uang yang banyak untuk biaya menikah. Tentu saja Duksam berjanji akan pulang menjemput Ehwa untuk menikahiya pada saatnya nanti. Dan inilah yang dilakukan Ehwa dan ibunya pada 'opening scene' buku ini: menanti kekasih mereka masing-masing.

Ehwa dan Ibunya melewatkan waktu dengan menatap gerbang desa, menanti kepulangan kekasih pujaan. Bagian ini agak dibesar-besarkan, jujur saja. Karena dari perhitungan umur Ehwa, dia menanti kekasihnya belum terlalu lama, namun dia seolah-olah merasa sebagai makhluk termalang di dunia. Dia masih tujuh belas tahun gitu lohhh...tentu saja saya tidak bisa bersimpati pada gadis tujuh belas tahun yang menanti kekasihnya sambil meratap, sementara di luar sini, saya dan teman-teman yang boleh dibilang sudah lama melewati masa tujuh belas tahun pun masih setia menanti 'kupu-kupu' untuk hinggap di 'kelopak' kami. Penantian cewek-cewek jaman sekarang justru lebih lama, dan penuh perjuangan, tapi kami biasa aja tuhhh.... yeah, mungkin balik masalah perbedaan era dan budaya juga sih...

Oke lanjut. Singkat cerita, pada suatu malam ketika salju pertama musim dingin tiba, seseorang yang dinanti-nanti pun akhirnya tiba. Duksam pun pulang untuk melamar Ehwa. Singkat cerita, tentu saja mereka menikah. Ehwa merasa sangat bahagia, namun juga sedih ketika memikirkan harus meninggalkan ibunya (di Korea, seorang wanita harus mengikuti dan tinggal di rumah keluarga suami. Dengan kata lain sedikit mengabaikan ibu kandungnya sih karena hanya bisa berkunjung sekali-sekali. Untunglah di Indonesia tidak terlalu dipermasalahkan apakah newly weds akan tinggal dengan keluarga suami, keluarga istri atau tinggal sendiri. Plaing eak memang tinggal sendiri biar terasa selamanya honeymoon yah. eh, malah ngelantur). Ibu Ehwa juga sangat sedih karena harus melepaskan anak semata wayangnya.

Ada satu bagian yang menurut saya (lagi-lagi) terlalu dilebih-lebihkan, yaitu pada saat ibu Ehwa menemukan sehelai uban. Yak, anda tidak salah baca, sodara-sodara: SEHELAI uban di rambutnya. Sontak Ibu Ehwa menangis karena dia menyadari bahwa dia sudah tua. Helooooo, memangnya bisa yah dibilang tua karena sehelai uban. Kenyataannya, banyak juga anak umur lima belas tahun yang sudah beruban, soalnya uban muncul bukan hanya karena faktor usia. Faktor kurangnya pigmen, salah pakai shampo, stress juga mempengaruhi lho.... Lah, ini kenapa saya malah jadi ngomongin rambut?! Intinya reaksi Ibu Ehwa sangat sangat sangat berlebihan karena sampai menangis gara-gara sehelai uban. Berikut cuplikan dialognya:

"Meskipun hujan atau turun salju, di dalam hati aku selalu merasa seperti bunga azalea merah jambu. Tapi sekarang, sekonyong-konyong, Waktu terasa sangat nyata. Sehelai uban..." -hal 247-

Bagian yang menurut saya cukup oke adalah hubungan ibu-anak antara Ehwa dan ibunya sedikit lebih tereksplor di buku ketiga ini, tidak seperti di buku kedua yang agak kurang diperhatikan lantaran Ehwa sibuk pacaran *ups*. Lalu bagian endingnya memang agak *uhuk* vulgar, jadi disarankan teman-teman tidak membaca buku ini saat ada adik kecil mengintip dari balik pundak teman-teman karena tahu sendiri kan bahwa ini novel grafis, tentu saja gambarnya agak...yeah begitulah. Tapi toh sudah jelas-jelas tertulis untuk dewasa, jadi tugas orangtualah yang harus menyingkirkannya dari jangkauan anak-anak (kayak apaan aja).

Kesimpulannya, dari seluruh trilogi Warna ini, buku pertamalah yang paling oke dan saya beri rating tertinggi heheheee....

Memorable Quote

"Kau bisa meyembunyikan sesuatu dari dunia, tapi kau tidak dapat menyembunyikan sesuatu dari waktu." -hal 247-

Kamis, 26 September 2013

Warna Air by Kim Dong Hwa

Paperback, 320 halaman
Judul asli: The Story Of Life On The Golden Fields Vol. 2
Penulis: Kim Dong Hwa
Penerjemah: Rosi L. Simamora
Editor: Tanti Lesmana
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit di Indonesia:2010
Tahun Terbit di Korea: 2003
Genre: Novel Grafis Dewasa
ISBN: 978-979-22-5988-9


"Seorang anak berharga, namun rapuh. Seorang ibu tidak akan membiarkan anaknya tidur di atas lantai yang kasar, makan buah yang bentuknya tidak sempurna, mengenakan pakaian compang-camping, atau menelan makanan yang sulit dikunyah. Begitulah hati seorang ibu." - hal 166-
Buku kedua dari trilogi warna ini berkisah mengenai  Ehwa yang sudah beranjak remaja. Masih ingat saat Ehwa sempat menyukai seorang biksu muda dari kuil, dan seorang pelajar yang sedang pulang kampug karena patah tulang tangannya di buku pertama trilogi ini yang berjudul Warna Tanah? Nah,  kisah-kisah tersebut bisa diibaratkan sebagai cinta monyet Ehwa. Ehwa yang kini beranjak dewasa pun memiliki tambatan hati yang baru.

Adalah seorang pemuda perkasa dari desa sebelah yang bernama Duksam. Saat hendak menjuju sebuah pertandingan adu kekuatan antar pemuda desa, sabuk yang dipakainya tak sengaja robek (tahu kan sabuk orang korea jaman dulu itu, cuma pakai kain panjang yang diikatkan di celana. maklumlah, pada masa itu celana-celana belum memiliki kolor seperti sekarang. Akhirnya sadar kan sekarang bahwa kolor merupakan salah satu penemuan manusia paling mutakhir yang sangat berharga..ups, maaf malah ngelantur. oke lanjut...). Karena terpaksa harus memperbaiki sabuk, maka dia mampir ke rumah penduduk terdekat yang dijumpainya a.k.a. rumah Ehwa. Entah untung entah sial, Ehwa saat itu sedang keramas, dan dengan pedenya, si cowok perkasa itu membantu Ehwa menguyur air ke rambutnya. Sontak Ehwa kaget, namun toh akhirnya Ehwalah yang berbaik hati menjahitkan sabuk milik Duksam yang rusak. Pertemuan itupun berubah menjadi saling lirik di pertandingan Duksam, berlanjut ke pertemuan yang tidak-disengaja-namun-disengaja dan rayuan-rayuan penuh kiasan khas dialog tulisan Mr. Kim.

"Sekarang aku mengerti...mengapa ibuku memandang ke arah gerbang desa di bawah cahaya bulan dan mengapa dia selalu mencari-cari bayangan si tukang gambar...Sekarang akhirnya aku mengerti. Mengapa dia dengan gelisah menanti-nantikan malam demi malam, mencari-cari suara langkah kaki laki-laki itu..." -hal 175-

Di buku ini fokusnya sangat jelas terlihat pada karakter Ehwa, tidak seperti buku sebelumnya yang cukup seimbang antara karakter Ehwa dan Ibunya. Ibu Ehwa sepertinya tampil hanya sebagai pemanis semata, yang menurut saya agak disayangkan, karena hubungan ibu-anak antara keduanya tidak cukup tereksplor seperti di buku pertama. Buku kedua ini menurut saya lebih seperti membaca diary anak ABG yang galau jika dibandingkan pendahulunya.

Ada lagi satu hal yang saya sadari ketika membaca buku kedua ini adalah, gambarnya yang agak lebai saat menggambarkan gerakan, hahaaaaa..... Entah ini hanya imajinasi saya atau bagaimana, namun gerakan menyulam ibu Ehwa yang memang digambarkan "seperti orang menari" sepertinya terlalu dibuat-buat. Juga gerakan kepala Ehwa yang menengok kaget saat tiba-tiba Duksam sudah berdiri di belakangnya, terlalu K-Drama bangeeetttt.... tapi mau bagaimana lagi, mungkin memang ciri khasnya Korea seperti itu. Anggap saja kita memang sedang belajar memahami budaya negeri tetangga. 3,4 bintang dech buat buku ini :))

Sekarang tinggal lanjut membaca buku ketiganya. Yuk, mariiiii :))

Rabu, 18 September 2013

Warna Tanah by Kim Dong Hwa

Judul asli: The Story of Life on the Golden Fields Vol. 1
Penulis: Kim Dong Hwa
Tahun terbit pertama kali: 2003 di Korea
Tahun terbit di Indoesia: 2010
Penerjemah: Rosi L. Simamora
Editor: Tanti Lesmana
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Format: Novel grafis
Rating: Dewasa



"Ya, pohon ginko sangat menakjubkan.
Hanya dengan menatap si pohon lelaki di sana,
pohon perempuan ini langsung berbuah." -hal 47

Kutipan di atas adalah salah satu memorable quote dari novel grafis ini. Ya, bentuknya memang seperti komik, berisi gambar-gambar dengan bubble-bubble dialog. Kita sering menyebutnya komik, tapi kadang orang sering juga menyebutnya novel grafis atau graphic novel. Biar lebih keren katanya, soalnya istilah komik terdengar sangat kekanak-kanakan. Tapi saya sebetulnya juga masih agak kurang paham mengenai istilah-istilah di atas. So anyway,,,

Ehwa adalah gadis kecil yang dibesarkan oleh ibunya yang sudah janda. Demi menghidupi mereka berdua si ibu membuka 'kedai minum', dan dituntut untuk melayani pelanggan seramah mungkin, meskipun terkadang ucapan-ucapan para pelanggan tersebut seringkali agak kurang ajar. Hal inilah yang menjadikan ibu Ehwa dikatai sebagai "kumbang" oleh beberapa penduduk desa, karena konon katanya, kumbang adalah makhluk yang mau berpasangan dengan siapa saja. Ehwa yang mendengar hal ini pun melaporkanya pada ibunya, namun ibunya hanya berkata bahwa kumbang itu seperti para pria yang kuat. Di lain hari, Ehwa bertanya pada ibunya apakah dia cacat karena tidak memiliki burung seperti teman-temanya. Ibu Ehwa pun tersenyum dan mengatakan bahwa wanita memang tidak memilikinya seperti lelaki, namun wanita memiliki hal lain yang berharga, yaitu lubang tempat keluarnya bayi, yang harus dijaga setiap wanita sampai hari pernikahannya.

Sepintas memang dialognya tampak terlalu vulgar, apalagi gambarnya yang terkadang sangat buka-bukaan. Namun Kim Dong Hwa bermaksud menyajikan makna kehidupan dan hal-hal yang masih sering dianggap tabu oleh banyak orang, menjadi filosofi kehidupan yang indah dan sarat makna. Novel grafis ini juga menceritakan tumbuh kembang seorang gadis dari masa kanak-kanak mencapai pubertas dan masa remaja. Kisah cinta pertama Ehwa dengan seorang biksu muda juga terkesan sangat lugu dan manis, dengan banyak bahasa bunga terselip di banyak dialog mereka. Sementara itu karakter ibu Ehwa pun tak kalah menarik--dia adalah seorang wanita tegar yang sangat teguh dan setia saat mencintai seseorang. Hal ini sangat jelas tergambar melalui penantian panjang bertahun-tahunnya terhadap tukang gambar pengembara yang selalu mampir sesekali dan menitipkan kuasnya pada ibu Ehwa.

Ibu adalah buku pertama dari trilogi Warna karya Kim Dong Hwa. Oh iya, jangan lupa, rating novel grafis ini memang untuk DEWASA, jadi wajar saja jika memang banyak adegan dan dialog ho-oh nya. Over all, bintang 4 dech buat novel grafis ini.

"Dari jutaan bunga di dunia, tak ada yang seperti bunga labu.
Bunga labu merekah hanya ketika semua orang telah tertidur.
Menghias dirinya dengan warna putih yang diciptakan debu bulan, bunga labu dengan penuh hasrat menantikan kekasihnya sepanjang malam." -hal 76

"Kamelia satu-satunya bunga yang cintanya bertepuk sebelah tangan.
Tak peduli betapa indahnya kamelia menghias dirinya, tak satupun kupu-kupu akan mendarat di atas kelopaknya bahkan sampai kuntum bunga terakhir telah merekah. Ketika kupu-kupu keluar, bunga-bunga ini sudah terlelap. Sebab hanya ketika kupu-kupu tertidur, bunga-bunga ini menjadi hidup." -hal 155


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...