Minggu, 14 Februari 2016

The School for Good and Evil by Soman Chainani [review]

Title: The School for Good and Evil (#1)
Author: Soman Chainani
Language: English
488 pages, 2013
Genre: Fantasy
My rating: 3/5


"Beauty can only fight truth so long, Agatha." - Professor Clarissa Dovey
Dua ratus tahun yang lalu, dua orang anak menghilang dari Gavaldon yang dikelilingi hutan belantara. Penduduk mengira mereka tersesat di hutan atau dimakan beruang....hingga empat tahun kemudian dua orang anak lagi menghilang. Demikian seterusnya yang terjadi setiap empat tahun sekali: dua orang anak menghilang secara misterius dari desa tersebut.

Misteri hilangnya dua anak tersebut lambat laun terungkap sejak wajah anak-anak hilang tersebut muncul di lukisan fairytale-fairytale legendaris: Jack and the beanstalk, Hansel and Gretel, Cinderella....you name it. Dua anak yang menghilang setiap empat tahun sekali tersebut diculik oleh Master Sekolah untuk dididik agar menghasilkan fairy tale: satu anak yang tampan atau cantik dan baik hati, dan yang satu anak bertampang muram, jelek dan nakal. Mereka masing masing dibawa ke School for Good dan School for Evil.

Sophie memiliki tubuh bak seorang putri raja; kulit mulus tanpa noda, rambut panjang berkilau berwarna keemasan, serta mata hijau yang indah. Sekali menebar senyum, semua anak laki-laki pastilah bertekuk lutut. Dia sangat ingin Master Sekolah menculiknya dan membawanya ke School for Good demi mengejar impiannya menjadi seorang putri, demi 'happily ever after'. Dia bahkan sengaja melakukan 'good deeds' demi mencapai tujuannya, termasuk berteman dengan gadis aneh penyendiri bernama Agatha yang tinggal di kuburan.

Segalanya menjadi membingungkan ketika Sophie, yang pada akhirnya memang diculik oleh sang Master Sekolah, ditempatkan di School for Evil, sedangkan Agatha ditempatkan di School for Good. Pasti ada kesalahan! Seluruh penghuni sekolah termasuk para gurupun berpendapat Sophie terlalu princessy untuk School for Evil, dan Ahgatha terlalu witchy untuk School for Good.

"Who needs princes in our fairy tales?"
Kekacauan bertubi-tubi terjadi di sekitar Sophie dan Agatha, terutama ketika pangeran Tedros dari Camelot, putra sang Raja Atrhur terlibat dan berhasil memikat hati si cantik Sophie. Sophie berambisi membuat Tedros jatuh cinta padanya, dengan bantuan Agatha yang sangat ingin kabur dari sekolah dan pulang ke desanya. Masalahnya, belum pernah sekalipun seorang pangeran menjalin hubungan dengan seorang witch.

Kekacauan yang lebih besar terjadi dan membuat bingung para guru: Good selalu menang melawan Evil selama dua ratus tahun terakhir, padahal keseimbangan antara Good dan Evil harus dijaga. Apa sebenarnya yang terjadi? Terutama ketika bahkan tak seorangpun pernah bertemu dengan sang Master Sekolah. Di sinilah Agatha dan Sophie merangkai fairy tale mereka sendiri.

Membaca buku ini memang sangat menghibur dan ringan. Namun entah kenapa saya tidak terlalu suka dengan gaya penulisannya. Dua karakter utamanya entah kenapa gampang banget berganti suasana hati dan berganti perasaan, bahkan, well, bukan cuma dua karakter utamanya saja lho, tapi semua karakter di novel ini terkesan plin-plan dan tidak punya pendirian. Yeah, kalau satu atau dua karakter seperti ini, mungkin memang disengaja oleh si penulis, tap kalau semua??? Well, something is wrong here. Memang sih ini buku fantasy dimana hal-hal ajaib bertaburan, tapi plis deh, bukan berarti ...cring...tiba2 si A bisa begini, ....criiing... tiba2 si B bisa begitu. Hubungan sebab-akibat itu harus selalu ada bahkan di novel fantasy loh...tapi entah kenapa saya merasa banyak sekali blank saat membaca novel ini, banyak hal yang seolah2 memang tidak dijelaskan karena ya sudah, memang tidak dijelaskan. Bikin kesel juga sih, dan hampir saya kasih cuma dua bintang aja. Hampir.

Mau tau nilai plus nya???

Pesan moral yang disematkan si penulis di buku ini.

Yups, si penulis mengedepankan tema fairy tale dan membeberkan secara mendalam (namun tersirat) segalanya yang salah pada kisah fairy tale. Mulai dari penggambaran para putri yang selalu cantik tanpa cela, berpakaian renda-renda dan bergaun warna pink atau biru atau silver, eurgh...karena, let's face it: terlahir sebagai seorang putri atau bangsawan tidak otomatis membuatmu menjadi cantik! Dan satu lagi kritik si penulis tentang fairy tale: tokoh para putri yang sepertinya selalu "mendambakan kecantikan dan kesempurnaan". Cinderella rings a bell?

Yang kedua, tokoh para putri (atau gadis pada umumnya) yang HARUS selalu menunggu sang ksatria atau sang pangeran berpedang dan berbaju zirah untuk datang menolong. The legendary damsel in distress. Bahkan secara tersirat si penulis mengkritik tentang wanita yang "dilarang mempertanyakan otoritas pria" juga tentang para putri yang "pingsan pada saat yang tepat (seperti saat melihat darah)". Aurora dan Snow White contohnya.

Dan puncaknya, setelah puass mengolok-olok stereotype di dalam kisah-kisah dongen klasik, si penulis seolah menyatakan bahwa sekarang dunia sudah berubah. Penyihir jahat bisa saja bertampang seksi dan cantik menawan, dan seorang putri bisa saja berparas buruk rupa...dan satu lagi: para putri masa kini tidak menunggu untuk diselamatkan oleh sang pangeran. Mereka menulis takdir mereka sendiri, fairy tale mereka sendiri, dengan tangan mereka sendiri....tanpa pangeran.

Oh iya, buku ini juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia lho. Happy Valentine and Happy International Book Giving Day 2016, everyone! See you in the next post ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...