Selasa, 11 Desember 2012

Review: INHERITANCE (by Christopher Paolini)

Paperback, 916 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Eragon, Penunggang naga pertama setelah Kejatuhan para Penunggang, dan naganya Saphira harus bersiap-siap menghadapi pertempuran terakhir dengan kekaisaran menghadapi raja Galbatorix yang kejam dan naga hitam raksasanya, Shru’ikan. Namun semua itu tidaklah semulus yang dibayangkan.

Bagian pertama buku keempat dan pamungkas seri Inheritance ini dibuka dengan bagian prolog yang menceritakan rangkiman kisah dari tiga buku terdahulu, dimulai dari penemuan batu biru oleh Eragon yang menetas menjadi naga Saphira, petualangannya keluar dari Carvahall bersama Brom si pendongeng, pertemuan dan persahabatannya bersama Murtagh dan Arya, bergabung dengan kaum Varden, hingga beberapa pertarungan terakhir Eragon dengan Murtagh dan Thorn juga terbunuhnya guru Eragon, Oromis dan Glaedr. Bagian prolog ini bahkan sangat detail, yang sangat memudahkan bagi pembaca yang mengalami “amnesia” mengenai ketiga buku sebelumnya untuk mengingat kembali dimana kisah di buku keempat ini akan dimulai. Namun, bagi yang baru saja membaca buku sebelumnya, atau bagi yang mengingat dengan sangat jelas jalan cerita dari buku-buku sebelumnya, membaca bagian ini bisa menjadi sangaaaaaaatttt membosankan.

Eniwei, Kaum Varden yang dipimpin oleh Nasuada, bersama para sekutu Varden yang lain termasuk Eragon dan Saphira, Arya, Orik, raja Orrin, juga Roran dan seluruh penduduk Carvahall, mulai mengadakan serangan ofensif terhadap Kekaisaran. Mereka memulai dari merebut kota-kota yang ada di bawah pimpinan Galbatorix, sepanjang Surda hingga ke Uru^baen. Walhasil, beberapa kota seperti Dras-Leona dan Helgrind pun berhasil dikuasai. Namun mereka tidak sendiri. Kaum elf dibawah pimpinan langsung ratu Islanzadi keluar dari kesunyian hutan Du Weldenvarden untuk bertempur bersama Varden, dan bergabungnya ras Urgal dan ras Werecat juga membuat perbedaan yang signifikan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Alagaesia, seluruh ras (manusia, elf, naga, kurcaci, urgal dan werecat) bertempur bersisian untuk menggulingkan Kekaisaran yang otoriter. Namun, tentu saja, Galbatrix dan naganya telah memiliki waktu lebih dari seabad untuk menimbun kekuatan, dan bahkan persatuan antar-ras pun dirasa belum cukup untuk mengalahkan si raja gila itu. Maka dimulailah pencarian misterius Eragon dan Saphira, yang dipandu oleh suara tanpa tubuh, ke pulau kediaman para Penunggang sebelum Kejatuhan mereka, Vroengard, untuk menyelidiki keberadaan Ruang Jiwa-Jiwa di Karang Kuthian. Pencarian ini membuat Eragon dan Saphira menemukan nama sejati mereka, juga rahasia terpendam para penunggang untuk menyelamatkan ras Naga. Singkat cerita, didorong oleh penemuan baru ini, kaum Varden (dibawah pimpinan Eragon, yang menjabat sejak Nasuada diculik oleh Galbatorix) menyerbu Uru^baen dan Galbatorix saat fajar.

Sebenarnya saya tidak mau membocorkan akhir cerita ini, tapi bagi yang mengikuti ceritanya, pasti sudah menebak akhir dari cerita ini dari “bocoran” Paolini di buku pertama, dalam ramalan yang dituturkan oleh Angela pada Eragon. Kalau tidak salah (agak lupa juga soalnya), ramalan itu tentang Eragon yang pada akhirnya akan meninggalkan Alagaesia dan takkan pernah kembali, juga tentang kisah cintanya yang tragis dengan seorang wanita yang “kuat, berkuasa dan cantik tanpa tandingan”. Oke, bagian ini jelas banget menurut saya. Eragon yang meninggalkan Alagaesia, sudah jelas kejadian itu adalah ‘setelah’ Eragon berhasil mengalahkan Galbatorix—disini jelas sekali Paolini membocorkan bahwa Eragon akan mampu mengalahkan Galbatorix pada akhirnya. Lalu mengenai bagian kisah cinta itu, dari buku pertama pun sudah jelas bahwa si wanita dalam ramalan adalah Arya. Okelah, kalau kisah cinta mereka tidak berakhir bahagia, tapi bukan berarti bahwa tidak harus ada adegan romantis antara Eragon dan Arya dong?! Bab-bab terakhir yang menceritakan “minggu terakhir kebersamaan sebelum berpisah” itu, harusnya Eragon-Arya bisa mencontoh naga-naga mereka, Saphira dan Firnen. Bukankah lebih baik memaksimalkan saja apa yang dimiliki pada saat-saat terakhir?? Tapi tidak, aduuuh, saya sampai gregeten gemes sama mereka berdua. Dan tahu nggak, hal paling intim yang mereka lakukan itu cuma saling berbagi Nama Sejati dan saling membisikkan Nama Sejati masing-masing di telinga. Owh My God! Grow up...! maaf, bukannya saya mengharapkan adegan sevulgar Saphira dan Firnen, tapi apa salahnya sih menutup adegan perpisahan mereka dengan let’s say...true love kiss? Mungkin bukan cuma saya lho yang kecewa dengan bagian perpisahan Eragon-Arya,,heheee....

Finally, buku ini adalah pamungkas yang menurut saya oke banget, meski dengan kekurangan yang saya sebutkan diatas tadi dan tidak adanya duel hebat yang ditunggu-tunggu (baca: Galbatorix vs Eragon.red), buku ini tetep worth it buat dibaca dan dikoleksi. Juga bisa dijadiin bantal tidur saking tebalnya (percaya gak percaya, ketebalan buku inilah yang membuat kecepatan baca saya jadi melambat drastis, karena saking ‘berat’ nya, tangan saya suka pegal-pegal dan kram kalau pegang buku ini kelamaan, hahahaaaaaa). Last but not least, enjoy reading guys! ^_^

4 komentar:

  1. Buku ini udah bercokol di lemari sejak tanggal perdana penerbitannya, tp, my bad, baru saya baca kurang lebih seperempatnya. Sedikit bosan dengan gaya naratif yang menurut saya terlalu panjang, apalagi pas masa perang-perang itu, mudah-mudahan bab kedepannya lebih menarik ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaaa....pengakuan nih, saya juga baca ini sempat mengalami proses stuck yang cukup lama sebelum akhirnya melanjutkan kembali ^_^

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...